BAB
I
PENDAHULUAN
Islam
adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan, shalih likulli zaman wa makan, karena
memang sifat dan tabiat ajaran Islam yang relevan dan realistis sepanjang
sejarah peradaban dunia, kebenaran Islam sebagai sebuah aturan universal yang bisa
dipakai kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa saja mulai dibukanya
lembaran awal kehidupan, sampai pada episode akhir dari perjalanan panjang
kehidupan ini.
Semua
hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terkandung
dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi
semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan
larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut
mereka istilahkan dengan Maqashid al-syariah.
Mungkin
bila kita berbicara tentang Maqashid Syariah, secara otomatis pikiran kita akan
tertuju kepada seorang al-Syatibi. Yang di anggap sebagai peletak dasar konsep
Maqashid Syariah. Namun sebenarnya banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama,
salahsatu yang di anggap sebagai orang
pertama yang berbicara tentang Maqashid ialah Abu Abdillah Muhammad bin ali
yang popular dengan panggilan al-Turmudzi al- Hakim,Meskipun demikian dalam makalah
ini tidak begitu mempersoalkan pada permasalahan tersebut dan lebih menitik
beratkan pada urgensi dari Maqashid syariah itu sendiri.
Ilmu
Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh
siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath
hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan
kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah
satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad
dan istinbath tetap berada pada koridor
yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu “penjaga”nya.
Ketika
kita membahas tentang maqashid syariah, maka kita akan dibawa pada pembahasan
berbagai metode penetapan hokum syariaah. Istihsan merupakan salah satu
daripada sumber hukum perundangan Islam dimaksud disamping , maslahah mursalah,
dan urf..
Meskipun
demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul
Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para
mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri –seperti penentuan
keshahihan suatu hadits misalnya-, internal Ushul Fiqih sendiri –pada sebagian
masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuluyyin. Inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul
menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang
diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Makalah
ini akan menguraikan tentang hakikat maqashidus syariah danal-Istihsan,
bagaimana pandangan para ulama lintas madzhab tentangnya, serta beberapa hal
lain yang terkait dengannya. Meski ulama berselisih pendapat tentang kehujahan
Istihsan, ini kerana terdapat ulama yang menerima dan juga menolak Istihsan.
Antara ulama yang menerima kehujahan Istihsan ialah ulama Hanafiah, Imam Malik
dan sebahagian ulama Hanbali. Manakala pula, antara ulama yang menolak
kehujahan Istihsan ialah Imam Shafie dam ulama shafi’I serta sebahagian ulama
Hanbali.(Abdul Latif Muda 1997:117)
Ulama
yang menerima Istihsan berpendapat bahawa Istihsan adalah salah satu cara untuk
mencari penyelesaian terbaik bagi kepentingan awam. Manakala pula, menurut
sebahagian ulama yang menolak kehujahan Istihsan, jika Istihsan dibenarkan ini
boleh membuka jalan ke arah penggunaan akal fikiran tanpa sekatan yang mana ia
terdedah kepada kesilapan dalam menetapkan hukum. Hal ini kerana hukum akan
dibuat berdasarkan nafsu dan fikiran, sedangkan yang berhak membuat hukum
adalah Allah s.w.t. (Amir Husin Mohd Nor 2002:36)
BAB
I
PEMBAHASAN
1.
Maqashid Syariah
a. Pengertian Secara Bahasa
Kata
syariat berasal darai “syara’a as-syai” dengan arti; menjelaskan sesuatu. Atau
ia diambil dari “asy-syir’ah” dan “asy-syariah” dengan arti tempat sumber air
yang tidak pernah terputus dan orang yang datang kesana tidak memerlukan adanya
alat.
Dalam
“mufrodat Al-Qur’an.” Ar-Raghib Al-Asfahani menulis bahwa “Asy-syar adalah
jalan yang jelas. Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad,
dan maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan:
qashada-yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama,
beberapa arti alqashdu adalah: ali’timad: berpegang teguh, al amma: condong,
mendatangi sesuatu dan menuju.
Maqashid
merupakan bentuk jama’ dari مقصد- قصد maksud, tujuan الشريعة secara bahasa
adalah tempat menuju ke sumber air tanpa terputus الشريعة secara makna syar’i adalah Sesuatu yang
ditetapkan Allah SWT untuk hambanya berupa ajaran agama. Korelasi makna bahasa
dan makna syar’I merupakan jalan ke arah sumber pokok kehidupan.مقاصد الشريعة berarti tujuan dan
fungsi syariat berupa mendatangkan kemaslahatan, baik dalam bentuk mewujudkan
maupun memeilhara kemaslahatan tersebut Al-Syatibi mendefiniskan maqashid
syari’ah bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.[1]
Maqasid
Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam.
Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan
sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari
hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan
dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan
hukum.[2]
Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.[3]
b. Pengertian Secara Istilah
Ibnu
al-Qayyim Al Jauziyah “Menegaskan bahawa syariah itu berdasarkan kepada
hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat
adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia”.[4]
Al
Khadimi “Berpendapat maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta”.
Dr. Wahbah Zuhaily menyebutkan Maqashid
syariah adalah sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’
dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya. Atau ia adalah tujuan dari
syari’at, atau rahasia di balik pencanangan tiap-tiap hukum oleh Syar’i
(pemegang otoritas syari’at, Allah dan Rasul-Nya).[5]
Syariat
adalah[6]:
hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama. Atau hukum agama yang ditetapakan dan
diperintahkan oleh Allah. Maqashid syariah” adalah tujuan yang menjadi target
teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia.
Baik berupa perintah,larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan
umat.
Maksud-maksud
juga bisa disebut dengan hikmah-hikmah yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum.
Maqashid
al-syari’ah dalam arti Maqashid al-Syari’, mengandung empat aspek. Keempat
aspek itu adalah :
a.
Tujuan awal dari syariat yakni kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
b.
Syariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c.
Syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan, dan
d.
Tujuan syariat adalah membawa ke bawah naungan hukum.
Kepentingan
hidup manusia yang bersifat primer yang disebut dengan istilah daruriyat
tersebut di atas merupakan tujuan utama yang harus dipelihara oleh hukum islam.
Kepentingan-kepentingan yang harus dipelihara itu adalah :
A. Perlindungan Terhadap Agama
Perlindungan
agama ini merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agam
merupakan pedoman hidup manusia, dan di dalam agama Islam selain komponen-komponen
akidah yang merupakan pegangan hidup setiap Muslin serta akhlak yang merupakan
sikap hidup seorang Muslim.[7]
Dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari yang diambil dari jalur Masruq dari Abdullah, bahwasanya
Rosullah bersabda:
لا يحلّ دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلاّ الله وأنّي رسول الله إلاّ
بإحدى ثلا ث النّفس باالنّس والثّيّب الزّاني والمارق من الدّين التّارك للجماعة
Tidaklah halal darah seorang muslim yang bersksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah
satu dari tiga hal; jiwa dengan jiwa(membunuh dihukum mati), orang yang telah
menikah berzina, dan orang yang murtad dari agama (islam) karena meninggalkan
sholat jamaah.
Berdasarkkan
hadits diatas sudah sangat jelas sekali bahwasanya Allah melindungi orang-orang
yang berada dalam agamaNya. Jadi orang-orang yang berada dalam agama islam
haram baginya darahnya atau haram baginya untuk membunuhnya.
Dan
dilain pihak juga islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama
adalah kebebasan berkeyakinan dan beribadah; setiap pemeluk agama berhak atas
agama dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya manuju agama
atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah keyakinannya untuk
masuk islam.
Dasar
hak ini sesuai firman Allah
لا اكراه فى الدين قد تبيّن الرّشد من الغي
Tidak ada paksaan untuk (mamasuki) agama (islam), sesunguhnya telah
jelas yang benar daripada jalan yang sesat.(QS.Al-Baqarah(2): 256).
Mengenai
tafsir ayat ini Ibnu katsir mengungkapkan,” Janganlah kalian memaksa seseorang
untuk memasuki agama islam. Sesungguhnya dalil dan bukti akan hal itu sangat
jelas dan gamblang, bahwa seseorang tidak boleh dipaksa untuk masuk agama
islam.”
Asbabun
nuzul ayat ini(sebagimana dikatakan para ulama ahli tafsir) menjelaskan kepada
kita suatu sisi mengagumkan agama ini( islam). Mereka meriwayatkan dari Ibnu
Abbas yang menceritakan ada seorang perempuan yang sedikit keturunannya, dia
bersumpah kepada dirinya, bahwa bila dikarunia seorang anak, dia akan
menjadikannya seorang yahudi ( hal seperti ini dilakukan oleh wanita dari kaum
ashar pada masa jahiliah), lalu ketika ,umcul Bani Nadhir, diantara mereka
terdapat keturunan dari kaum ashar. Maka bapak-bapak mereka berkata,” kami
tidak akan menbiarkan anak-anak kami; memeluk agama yahudi, lalu Allah
menurunkan ayat ini.
Atas peristiwa yang terjadi ini, Al-qur’an
tetap menolak segala bentuk pemaksaan, karena orang yang diberi petunjuk oleh
Allah, maka Dia akan membukakan dan menerangi mata hatinya, lalau orang itu
akan masuk islam dengan bukti dan hujjah.
Barangsiapa yang hatinya dibutakan, pendengaran, dan penglihatannya
ditutup oleh Allah, maka tidak ada gunanya mareka masuk islam dalam keadaan
dipaksa.
B. Perlindungan
Terhadap Nyawa
Pemeliharaan
ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum Islam wajib memelihara
hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.[8]
Untuk itu hukum islam melarang pembunuhan sebagai uoaya menghilangkan jiwa manusia
dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia dan mempertahankan
kemaslahatan hidupnya.[9]
Pada
tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10H, Nabi SAW menuju kepadang arafah, di sana beliau
berkhutbah, yang intinya bahwa islam adalah risalah langit yang terakhir, sejak
empat belas abad yang lalu telah mensyariatkan (mengatur) hak-hak asasi manusia
secara komprehensif dan mendalam. Islm
mengaturnya dengan segala macam jaminan yang cukup untuk menjaga hak-hak tersebut. Islam membentuk masyarakatnya di atas fondasi
dan dasar yag menguatkan dan memperkokoh hak-hak asasi manusia.
Hak pertama dan paling utama yang diperhatikan
Islam adalah hak hidup. Maka tidak
mengherankan bila jiwa manusia dalam syariat Allah sangatlah dimuliakan, harus
dipelihara, dijaga, dipertahankan, tidak menghadapkannya dengan sumber-sumber
kerusakan/ kehancuran. Alllah berfirman,
ولا تقتلوا أنفسكم إنّ الله كان بكم رحيما
Dan janganlah kamu membunuh dirimu
sendiri, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu (QS.An-Nisa;29)
Al-Bukhori
dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Abu Hurairah, bahwasanya
Rasullah bersabda:
من تردّ من جبل فقتل نفسه فهو
في نار جهنم يتردّ فيه خالدا مخلّدا فيها أبدا ومن تحسى سما فسمه في يده يتحساه في نار جهنم خالدا
مخلّدا فيها أبدا ومن قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يجأ بها في بطنه في نار جهنم
خا لدا مخلدا فيها أبدا
Artinya : barang siapa yang
menjatuhkan diri dari gunung, lalu dia mati maka di neraka jahannam dia akan
mejatuhkan diri dia kekal dan dikekalkan di dalamnya. Dan barang siapa yang
minum racun, lalu dia mati maka dia akan menghirup racun tersebut di neraka
jahannam dia kekakl dan dikekalkan didalamnya. Dan barang siapa yang bunuh diri
dengan menggunakan potongan besi maka di neraka jahannam besi itu akan berada
di tangannya lalu dia akan memukul sendiri perutnya dengan besi tersebut dia
kekal dan dikekalkan di dalamnya selamanya.
Hal
ini disebabkan karena membunuh berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan
mencanut ruh manusia. Padahal Allah sajalah sang pemberi kehidupan, dan dia
sajalah yang mematikannya. Dialah sang pencipta kehidupan dan kematian.
Syekh
Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi mengatakan :
Kita
tidak menyaksiakan penciptaan makhluk, namun setiap hari kita menyaksikan
kematian, dan hal ini merupakan hal yang sudah kita ketahui bersama. Merusak
segala sesuatu berarti kebalikan dari menciptakannya. Maka bagaimana manusia
diperkenankan merusak sesuatu yang dibangun (diciptakan) Allah? Dalam
penjelasannya firman Allah pada surat Q.S Asy-syura 77-82 :
فا انهم عدو لي
الا رب العالمين ۩ الذي خلقني فهو يهدين ۩
والذي هو يطعمني و يسقين۩ واذا مرضت فهو يشفين ۩ والذي يميتني ثم يحيين ۩ والذي
اطمع أن يغفر لي خطئتي يوم الدين
Artinya : karena sesunggunya apa
yang kamu sembah itu adalah musuh ku kecuali dan semesta alam ( Tuhan) yang
telah mencipatkan aku, maka dialah yang menunjuk aku dan Tuhan ku, yang dia
memberi makan dan minum kepadaku dan apabila aku sakit dialah yang menyembuhkan
aku dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) dan
yang amat aku inginkan akan mengampuni kesalahan ku pada hari kiamat (asyura)
Ada
perbedaan anatra pembunuhan dan kematian (biasa.wajar). pembunuhan tidaklah
sama dengan kematian, karena oembunuhan berarti merusak struktur tubuh yang
menyebabkan keluarnya ruh-ruh hanya akan berada dalam tubuh yang sehat dengan
spesifikasi-spesifiaksi khusus, karena itulah
Allah berfirman mengenai Rasulullah dalam Al-Qur;an terda[at pada surat
Al-Imran :144
وما محمد الا قد خمت من قبله الرسول أفاءين مات أو قتل انقلبتم علي
أعقبكم ومن ينقلب علي عقيبيه فلن يضر الله شيئا وسيجزي الله الشكرين
Muhahammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguhtelah berlalu sebelumnya bebarapa orang rasul. Apakah
jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad), barang siapa
yang berbalik ke belakangm maka ia tidak dapat mendatangkanmudarat kepada Allah
sedikit pun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.
Adapun
kematian adalah keluarnya ruh dari tubuh, dengan struktur tubuh dalam keadaan
sehat, dan hanya Allah-lah yang mematikan. Sedang pembunuhan dapat dilakukan
manusia dengan menggunakan alat tajam atau dengan tembakau peluru.
C. Perlindungan terhadap Akal
Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan),
sinar hidayah, cahay matahari, dan media kebahagian manusia di dunia dan
akhirat. Dengan akal, surat perintah dari Allah disampaikan, dengannya pula
manusia berhak pemimpin di muka bumi, dan dengannya manusia menjadi sempurna,
mulia, dan berbeda dengan makhluk lainnya. Allah swt berfirman dalam surat al-
Isra’ :70 :
ولقد كرمنا بني أدم وحملنهم في البر و البحر ورزقهم من الطيبت وفضلنهم
علي كثير ممن خلقنا تفضيلا
dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami
beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kmai lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Andai
tanpa akal, manusia tidak berhak
mendaptkan pemuliaan yang bisa mengangkatnya menuju barisan para malaikat.
Dengan akal, manusia naik menuju alam para malaikat yang luhur. Karena itulah,
akal poros pembenahan pada diri manusia.[10]
Dengannya, manusia akan mendapatkan pahala dan berhak mendapat siksa. Balasan
di dunia dan di akhirat berdasarkan akal dan kekuatan pengetahuan. Nikmat dalam
diri manusia ini membukakannya cakrawala kehiduoan, dia bisa menapaki penjuru
bumi dan menyelam di bawah kedalamannya, serta menungganga udara. Sebagaiman
yang telah disabdkana oleh sabda Nabi Nabi Muhammad SAW : wahai manusia,
sesungguhnya setiap sesuatu memiliki anugerah, dan anugerah seseorag adalah akalnya.
Dan orang yang paling baik petunjuk dan pengetahuannya mengani hujjah di antara
kalian adalah orang yang paling mulia amalnya.
Melalui
akalnya manusia, manusia mendapatkan petunjuk menuju malrifat kepada Tuhan dan
Penciptanya. Dengan akalnya, dia menyembah dan menaati-Nya, menetapkan
kesempurnaan dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan
cacat, membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai bahwa mereka
mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang
diperintahkan Allah kepada mereja, membawa kabar gembira untuk mereka dengan
jani, dan membawa peringatan dengan ancaman. Maka manusia mengopersikan akal
mereka, mempelajari yang hala dan yang haram, yang berbahaya dan bermanfaat,
serta yang baik dan buruk.
Setiap
kali manusia mengoperasikan pikiran dan aklanya, menggunakan mata hati dan
perhatiannya, maka dia akan memperoleh rasa mana, merasakan kedamaian dan
ketenagan, dan masyarakat tempat dia hidup pun akan di dominasi oleh suasana
yang penuh dengan rasa sayang, cinta, dan ketengangan. Manusia pun merasakan
aman aras harta, jiwa, kehormatan, dan kemerdekaan mereka.
Akal
dinamakan عقل
(ikatan) karena ia bisa mengikat dan mencegah pemilinya untuk melakukan
hal-hal buruk dan mengerjakan kemungkaran. Dinamakan demikian, karen akal pun
menyerupai ikatan unta; sebuah ikatan akan mencegah manusia menuruti hawa nafsu
yang sudah tidak terjendali, sebagaimana ikatan akan mencegah unta agar tidak
melarikan diri saat berlari.karena itulah Amir bin Abdul Qais berkata :
اذا عقلك عقلك عما لا ينيغي فأنت عاقل
Jika akal mengikat mengikatmu dari sesuatu yang tidak sempurnam
amka anda adalah orang yang berakal.
Diriwayatkan
juga dari Nsbi SAW :
العقل نوؤ غي قلب يفرق به بين الحق و البطل
Akal adalah cahaya dalam hati yang
membedakan antara perkara yang haq dan
perkara yang bathil.
Orang
yang memerhatikan dengan mata hati dan cahaya iman, serta merenungkan dunia
saat ini, juga peristiwa dan perubahan yang terjadi, maka dia akan mrndapati
bahwa mayoritas umat yang maju dan berperadaban adalah mereka yang membuka
medan kehidupan di depan akal, lalu melepaskannya dari semua ikatanm membuka
tutup dan penghalangnya, menyingkarkan semua rintangan dan tembok, memcahkan
dan melepaskan tali serta batasan di depan kekuatan yang sangat besar, yakni
dengan perhatian, pikran, pembahasan, dan ilmu.
D. Perlindungan terhadap harta benda
harta
merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di aman manusia tidak akan
bisa terpisah darinya.
المال و البنون زينة الحيوة الدنيا
harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia. (QS. Al-Kahfi : 46)
manusia
termotivasi untk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah
kenikmatan materi dan religi, dia todak boleh berdiri sebagai pengahalang antar
dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat,
yaitu harta yang dikumpulkannya dengan cara yang halal, diprgunakan untuk
hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan
masyarakat tempat dia hidup.
Cara
menghasilkan harta tersebut adalah dengan cara bekerja dan mewaris, maka
seseorang tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, karena
Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ : 29
يا أيها الذين أمنوا لا تأكلوا أمولكم بينكم با البطل الا أن تكون
تجارة عن ترض منكم
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan
jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu.
Apabila
seseorang meminjamkan hartanya kepada orang lain dalam bentuk utang, maka ia
bisa memilih salah satu di antara tiga kemungkinan berikut :
·
Meminta kembali hartanya tanpa tambahan.
·
Apabila tidak bisa mendapatkannya maka dia harus bersabar dan tidak
membebaninya dengan melakukan tagihan.
·
Apabila orang yang memberikan pinjaman adalah orang kaya, dia dapat
menyedahkan pinjaman tersebut kepada peminjam yang dalam keadaan miskin atau
payah, karena nikmat harta harus menjadi motivator untuk saling mengasihi,
tidak untuk bersikap antipati.
Perlindungan
untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut :
Pertama,
memliki hak untuk di jaga dari para musuhnya, baik dari tindak pencurian,
perampasan, atau tindakan lain memakan harta orang lain (baik dilakukan kaum
muslimin atau nonmuslim ) dengan cara yang batil, seperti merampok, menipu,
atau memonopoli.
Kedua,
harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang mubah, tanpa ada unsur mubazir
atau menipu untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Maka harta ini tidak
dinafkahkan untuk kefasikan, minuman keras, atau berjudi.
Dalam
islam, harta adalah harta Allah yang dititipkan-Nya pada alam sebagai anugerah
ilahi, yang diawasi dan ditundukkan-Nya untuk manusia seluruhnya. Dan pada kenyataannya, dengan harta, jalan
dapat disatukan, dan kedudukan yang manusia raih, serta pangkat yang mereka
dapatkan dari harta, yakni harta dan hak Allah seperti yang telah ditetapkan
islam adalh hak masyarakat, bukan hak kelompok, golongan, atau starata
tertentu. Ia adalah harta Allah yang yang ditunjuk-Nya sebagai khalifah adalah
manusia.
Melindungi
dan tidak menganiaya harta serta mengambilnya dengan cara yang batil :[11]
1. Hukum Risywah (suap) dalam islam
Risywah
adalah memperdagangkan dan mengeksploitasi tugas atau sebuah pekerjaan untuk mrnghasilkan
harta secara batil. Perbuatan ini adalah haram dan dilarang oleh islam, karena
hal ini termasuk perkara yang dilarang.
2. Mencuri
Mencuri
adalah mengambil harta orang lain tanpa hak dan tanpa sepengetahuan atau
persetujuan pemiliknya.
3. Riba
Riba
adalah kelebihan harta tanpa imbalan atau ganti yang disyariatkan, yang terjadi
dalam sebuah transaksi (akad) dan hal tersebut hukumnya haram.
E. Perlindungan terhadap Keturunan
Maksud ini Islam mensyariatkan larangan
perzinaan, munuduh zina, terhadap perempuan muhsonat, dan menjatuhkan pidana
bagi setiap orang yang melakukannya.[12]
Agar
kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan. Hal
ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi,
dan larangan berzina yang terdapat dalam surat al-isra’ : 32
ولا تقربو الزني انه كان فحسة وساء سبيلا
Dan janganlah
kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk.
Hukum
kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus
diciptakan Allah untuk memlihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan.
Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum Islam ini di atur lebih
rinci dan pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya. Maksudnya adalah
agar pemeliharaan dan kelanjutan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.[13]
2.
Al Istihsan
A.
Makna Etimologi
Istihsan
menurut Etimologis (lughowi/bahasa) adalah
menganggap baik sesuatu[14].
“Memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”,
atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau
“”mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang di suruh untuk
itu”[15].
Istihsan secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan(apapun yang
baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang
pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah
(hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal
itu dianggap tidak baik oleh orang lain[16]
Dari
lughawi di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang
keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di
antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang
di anggapnya lebih baik untuk diamalkan.
B.
Makna Terminologi
Istihsan
menurut terminologi/istilah ulama’ ushul adalah beralihnya pemikiran seorang
mujtahid dari tuntutan kias yang nyata kepada kias yang samar atau dari hukum
umum kepada perkecualian karena ada
kesalahan pemikiran yang kemudian memenangkan perpindahan itu[17].
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul
Wahab Khalaf [18].
هو عدول
المجتهد عن قياس جلى الى مقتصنى قياس خفى او عن حكم كلى الى حكم استسنائي انقدع فى
اقله رجع لديه هذ العدول
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas
jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan
yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian),
karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat
yang menghendaki perpindahan tersebut”.
Definisi
istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari seorang
mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang
diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat
yang menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.
Definisi
istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil ruksah
dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain
pada sebagian kasus tertentu.
Sementara
itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan bahwa
istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan
qiyas kully[19].Istihsan
merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum oleh
dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam
Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat[20].
Apabila
terjadi sesuatu peristiwa yang tidak dapat nash hukumnya, maka dalam
pembahasannya ada dua pendapat yang berbeda: sudut pandang lahiriyah yang
menghendaki suatu hukum. Dan sudut pandang secara tersembunyi yang menuntut
hukum yang lain. Seorang mujtahid
menemukan dalil yang memenangkan pandangan
secara tersembunyi, lalu pindah ke sudut pandang lahiriyah. Inilah yang
menurut syara’ yang disebut alistihsan.Demikian juga jika hukum itu bersifat
umum, sedangkan dalam diri mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian atas
sebagian hukum umum ini, lalu ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang
lain. Maka ini juga di sebut al ihtisan.
B. Macam-macam
al istihsan
Dari
pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa alistihsan ada
dua macam[21]:
1.
Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2.
Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Contoh-contoh
istihsan bentuk pertama:
1. Ulama fiqh
kelompok hanafi menyebutkan bahwa seorang yang mewakafkan tanah sawahnya maka
hak pengairan, minum dan jalan adalah termasuk
tanpa harus menerangkan secara istihsan. Sedangkan menurut kias, hal-hal
itu tidak termasuk kecuali dengan nash, seperti halnya jual beli. Adapun bentuk
istihsannya; Tujuan wakaf adalah orang yang di beri hak wakaf dapat
memanfaatkan barang yang di wakafkan. Sedangkan pemanfaatan tanah sawah itu
harus memberi minum, mengairi, dan jalan, sehingga hal-hal itu termasuk wakaf
tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tidak dapat terwujud kecuali dengan hal-hal
itu, seperti halnya sewa menyewa.
Kias yang nyata
adalah menyamakan wakaf contoh diatas
dengan jual beli, karena sama-sama mengeluarkan hak milik dari pemiliknya.
Sedangkan kias yang tersembunyi adalah menyamakan wakaf tersebut dengan sewa
menyewa, karena sama-sama demi pemanfaatan. Seperti masuknya pengairan, minum
dan jalasedn dalam bagian sewa menyewa tanah lumpur tanpa menyebutkannya, maka
hal-hal itu masuk juga dalam bagian wakaf tanah lumpur tanpa menyebutkannya.
Ahli fiqh ulama hanafi menetapkan bahwa jika terjadi
perselisihan antara penjual dan pembeli tentang harga barang sebelum barang itu
diterima, lalu penjual mendakwa bahwa harganya seratus pound sedangkan pembeli
juga mendakwa bahwa harganya sembilan puluh pound maka keduanya harus bersumpah, menurut
istihsan. Sedangkan kias menetapkan bahwa penjual tidak bersumpah, karena
penjual yang mendakwa lebih banyak,
yaitu sepuluh, sedangkan pembeli mengingkari, maka penjual tidak wajib
bersumpah. Alasan istihsannya bahwa penjual jelas orang yang mendakwa bila
dihubungkan dengan tambahan. Pengingkaran adalah hak pembeli dalam penerimaan
barang setelah menyerahkan 90 pound. Pembeli adalah jelas orang yang
mengingkari adanya tambahan yang di dakwakan oleh penjual yaitu sepuluh, dan ia
adalah pendakwa tentang hak penerimaan barang setelah menyerahkan 90 pound.
Jadi keduanya adalah pendakwa dari satu sisi dan orang yang di ingkar di sisi
lain, maka keduanya harus bersumpah.
Kias
yang nyata: Menyamakan kejadian ini dengan semua yang terjadi antara pendakwa
dan orang yang ingkar, kesaksian itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan
sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari.
Kias
yang tersembunyi: Menyamakan kejadian di atas dengan setiap kejadian antara dua
orang yang saling mendakwa. Masing-masing dalam waktu bersamaan dikatakan
sebagai pendakwa dan sekaligus orang yang ingkar, maka keduanya harus
bersumpah.
Contoh-contoh
istihsan bentuk kedua:
Syar’i
melarang jual beli atau akd pada barang yang tidak ada di tempat akad. Tetapi
secara istihsan, diperbolehkan pesan memesan.
C.
Dasar Hukum Istihsan
para ulama yang mempertahankan
istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata
istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti
Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
Artinya: “Yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah
orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang
mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya
yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak
ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
Menurut mereka,
dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan
perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah
Hadits Nabi
saw:
فَمَا رَأَى
الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا
فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ.
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang
baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang
buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits
ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan
Istihsan.
Contoh
istihsan: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah
pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat
saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar
istihsan. Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena
mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah
pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada
jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut istihsan
hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada
sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik
barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf.
Yang
penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan.
Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik.
Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf
tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak
milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua
peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau
harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu
tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada
qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Yang
berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka istihsan
sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau
mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu
kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan
hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan
istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja
yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain
yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab
Hambali.
Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab
Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan
istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan
hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.”
Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang
yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang
menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah
Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah
Ka’bah itu.”
Jika
diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian
istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut
pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i,
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang
lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian
ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat
dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan:
“orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa
dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan
sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
D.
Kekuatan istihsan sebagai hujjah
Dari
definisi dan penjelasan kedua macam istihsan, jelaslah bahwa pada hakikatnya
istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena dalil hukum yang
berbentuk istihsan pertama adalah kias yang tersembunyi yang di unggulkan dari
pada kias yang nyata, sebab hal-hal
tertentu oleh mujtahid di anggap lebih unggul, dan itu adalah alasan
istihsan. Sedangkan dalil hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah
kemaslahatan, yang menuntut adanya perkecualian bagian tertentu dari hukum
umum, dan hal itu juga di anggap alasan
istihsan.
Diantara
orang-orang yang berhujjah dengan istihsan adalah mayoritas kelompok hanafi.
Mereka beralasan: Pengambilan dalil dengan istihsan adalah mengambilan dalil
dengan kias yang samar yang mengalahkan kias yang nyata, atau memenagkan kias
atas kias lain yang menentangnya karena kepentingan umum dengan cara
mengecualikan sebagian dari hukum umum. Dan semua itu pengambilan dalil yang
benar.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Setelah
diuraikan konsep maqashid al-syariah menurut al-syatibi adalah tujuan-tujuan
disyariatkannya hukum oleh Allah SWT. Yang berintikan kemaslahatan umat manusia
di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Setiap persyariatan hukum oleh Allah mengandung maqashid (tujuan-tujuan) yakni
kemaslahatan bagi umat manusia. Yakni tujuan persyariatan hukum dalam rangka
mewujudkan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yaitu agama, jiwa,
keturunan, akal dan harta. Maqashid
syariah persyariatan hukum dalam upaya memberi kemudahan kepada manusia
mewujudkan lima unsur pokok tersebut.
Perhatian
Ibnu Asyur terhadap maqashid muncul melalui kitab kecilnya yang cantik: Alaisa
al-Shubh bi Qarîb. Dimana dalam kitab ini, dengan pemikiran maqashid, ia
mengkritik sistem pendidikan dalam Dunia Islam yang tetap mempertahankan gaya
tradisionalnya yang cenderung mengajarkan hukum Islam (fikih) secara
tekstualis-literalistik, tanpa menjelaskan alasan-alasan dan tujuan-tujuan
Tuhan (maqashid) dibaliknya. Kurang-lebih kitab ini dikarang pada tahun 20-an
abad ke-20 M.
Istihsan
adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat
kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas.
Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah
juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil
yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah
beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat
dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu
ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan
maslahah atau menghindari madarat, namun bukan berarti istihsan adalah
menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil
ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda.
Dari
pengertian al ihtisan secara syara’ dapat di tarik kesimpulan bahwa alistihsan
ada dua macam:
1.
Mengunggulkan kias yang tersembunyi atas kias yang nyata dengan suatu dalil.
2.
Mengecualikan sebagian hukum umum dengan suatu dalil.
Sedangkan dalil
hukum dari bentuk istihsan yang kedua adalah kemaslahatan, adanya perkecualian
bagian tertentu dari hukum umum, dan hal itu juga di anggap alasan istihsan.
kembali
mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsān, ki ta dapat
melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan
kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap
nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini
telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri
mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat
kedua ini sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika
semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, (
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )
2.
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, (Damaskus: Dar al Fikr, 1986,
juz 2)
3.
Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
terjemahan oleh Yudian W. Asmin, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995)
4.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, tahun 1996 jilid 3
5.
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl
al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998., juz II
6.
[1]Yusuf al-qordhowi,” fiqih Maqasid Syariah”,( jakarta timur: Pustaka
al-Kautsar,2006)
7.
Fathur rahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997 )
8.
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ( Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA,
2005)
A.
Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2003)
9.
Ahmad Al-mursi Husain jauhar, maqashid syariah ( Jakarta : AMZAH,
2009)
10.
Saifudin Zuhri, ushul fiqih akal sebagai sumber hukum islam (
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009)
11. Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu ushul fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003)
12.
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh jilid II, (Jakarta: Kencana, 2011)
13.
Lisan al-‘Arab
14.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999)
hlm.402
[1] Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, (
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada ) hal. 61
[3] Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
terjemahan oleh Yudian W. Asmin, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hal. 225
[4] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, tahun 1996 jilid 3 hal 37
[5] Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl
al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998., juz II hlm. 1045.
[9] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ( Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA,
2005) hal 63
[12] Saifudin Zuhri, ushul fiqih akal sebagai sumber hukum islam (
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) hal 105-106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar