BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Syariat adalah
ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan oleh Rasulullah
tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai kehidupan yang
baik di dunia dan di akhirat kelak. Ketentuan syariat terbatas dalam firman Allah swt dan sabda Rasulullah. Agar
segala ketentuan (hukum) yang terkandung dalam syariat tersebut bisa diamalkan
oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala ketentuan yang
dikehendaki oleh Allah swt yang terdapat dalam syariat tersebut.[1]
Pengertian dari syariat
sendiri terkadang sering diartikan secara sempit sebagai hukum Islam (Islamic
Yurisprudence), sebab makna yang terkandung dalam syariat (secara halus) tidak
hanya aspek hukum saja, tetapi ada aspek lain, yaitu aspek i’tiqodiyah dan
aspek khuluqiyah.
Dalam memahami hukum
Islam tentu diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsipnya pula. Di samping
itu juga hukum Islam memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan
hukum-hukum lain. Selanjutnya pembahasan ini akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
prinsip-prinsip hukum Islam?
2. Bagaimana
karakteristik hukum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip-prinsip Hukum
Islam
Prinsip-prinsip pokok (al mabda’)
adalah landasan yang menjadi titik tolak atau pedoman pemikiran kefilsafatan
dan pembinaan hukum Islam. Prinsip-prinsip pokok itu
adalah : [2]
1. Meng-Esakan
Tuhan (tauhid), semua manusia dikumpulkan di bawah panji-panji atau ketetapan
yang sama, yaitu : Laa Ilaaha illallah (QS. Ali Imran : 64).
2. Manusia berhubungan
langsung dengan Allah swt, tanpa atau
meniadakan perantara antara manusia dengan Tuhan (QS. Al Ghafir : 60, QS. Al
Baqarah : 186).
3. Keadilan bagi
manusia, baik terhadap dirinya sendiri, maupun terhadap orang lain (QS. An Nisa
: 135, QS. Al Maidah : 8, QS. Al An’am : 152, QS. Al Hujurat : 9).
4. Persamaan (al musawah) di antara
umat manusia, persamaan di antara sesama umat Islam. Tidak ada perbedaan antara
manusia, yang
membedakannya hanyalah taqwanya (QS. Al Hujurat : 13, QS. Al Isra’ : 70 dan
beberapa hadits).
5. Kemerdekaan atau
kebebasan (al hurriyah), meliputi kebebasan agama, kebebasan berbuat dan
bertindak, kebebasan pribadi dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum (QS.
Al Baqarah : 256, QS. Al Kafirun : 5, QS. Al Kahfi : 29).
6. Amar ma’ruf nahi
munkar, yaitu memerintahkan untuk berbuat yang baik, benar, sesuai dengan
kemaslahatan manusia, diridhai oleh Allah swt dan memerintahkan untuk menjauhi
perbuatan buruk, tidak benar, merugikan umat manusia, bertentangan dengan
perintah Allah swt (QS. Ali Imran : 10).
7. Tolong menolong (ta’awwun)
yaitu tolong menolong, saling membantu antar sesama manusia sesuai dengan
prinsip tauhid, dalam kebaikan dan taqwa kepada Allah swt, bukan tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan (QS. Al Maidah : 2, QS. Al Mujadalah : 9).
8. Toleransi (tasamuh)
yaitu sikap saling menghormati untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian antar
sesama manusia (QS. Al Mumtahanah : 8-9).
9. Musyawarah dalam
memecahkan segala masalah dalam kehidupan (QS. Ali Imran : 159, QS. Asy Syura :
38).
10. Jalan tengah (ausath,
wasathan) dalam segala hal (QS. Al Baqarah : 143).
11. Menghadapkan pembebanan (khitob,
taqlid) kepada akal (QS. Al Hasyr : 2, QS. Al Baqarah : 75, QS. Al An’am :
32 dan 118).
Adapun prinsip-prinsip
hukum Islam sebagai sebuah ketetapan hukum, di antaranya sebagai berikut :
1.
Tidak menyulitkan (‘adamul kharaj),
Memiliki arti bahwa hukum Islam tidak sempit, sesak, tidak memaksa dan
tidak memberatkan. Adapun cara meniadakan kesulitan di antaranya :
a.
Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban dapat
ditiadakan, seperti gugurnya kewajiban shalat Jumat dan gugurnya kewajiban
puasa di bulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit.
b.
Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dhuhur,
ashar dan isya’ yang jumlah raka’atnya 4 menjadi 2 raka’at.
c.
Penukaran, yaitu penukaran suatu kewajiban dengan yang lain, seperti
wudlu atau mandi besar ditukar dengan tayammum atau menukar kewajiban berpuasa
di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang memiliki halangan untuk
berpuasa.
d.
Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir,
seperti shalat jama’ taqdim dimana shalat ashar dilaksanakan pada waktu dhuhur
atau melaksanakan shalat isya pada waktu maghrib.
e.
Menangguhkan atau menta’khirkan kewajiban, yaitu mengerjakan suatu
kewajiban setelah waktunya terlewat, seperti shalat jama’ ta’khir dimana shalat
dhuhur dilaksanakan pada waktu ashar atau melaksanakan shalat maghrib pada
waktu isya.
f.
Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat dengan
shalat khauf karena alasan keamanan atau mengganti kewajiban puasa bagi orang
yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan membayar fidyah.
2. Tidak
memberatkan dan menyedikitkan beban (taqlil at takalif)
Taklif secara bahasa berarti beban. Arti etimologinya adalah
menyedikitkan. Adapun secara istilah yang dimaksud taklif adalah tuntutan Allah
swt untuk berbuat sehingga dipandang taat untuk menjauhi laranganNya.[3]
Dalam mengadakan
aturan-aturan untuk manusia selalu diusahakan oleh Tuhannya agar aturan-aturan
tersebut mudah dilaksanakan dan tidak merepotkan. Meskipun hal ini berarti
tidak harus menghapuskan aturan (perintah) sama sekali. Sebab dengan
perintah-perintah itu dimaksudkan agar jiwa manusia terhadap perbuatan yang
buruk dapat dibatasi. Jadi maksudnya dengan menyedikitkan hukum Islam ialah
yang berlebih-lebihan dan yang menghabiskan kekuatan badan dalam
melaksanakannya.[4]
Dasar taqlil at
takalif adalah QS. Al Maidah : 101 yang menegaskan bahwa orang-orang
beriman dilarang bertanya kepada Rasulullah tentang hal yang bila diwajibkan
akan menyulitkan mereka.[5]
Rasulullah melarang
para sahabat memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum ada yang nantinya
akan memberatkan mereka sendiri. Rasulullah justru menganjurkan agar mereka
memetik dari kaidah-kaidah umum dengan maksud ada kelapangan untuk berijtihad.
Dengan demikian hukum Islam tidaklah kaku, keras dan berat bagi umat manusia.
Sangkaan-sangkaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum.[6]
3. Menegakkan
keadilan (tahqiq al ‘adalah)
Keadilan memiliki beberapa arti, secara bahasa adalah meletakkan sesuatu
pada tempatnya (wadl al syai’ fi mahalih). Salah satu keistimewaan
syariat Islam adalah memiliki corak yang generalistik, datang untuk semua
manusia dan menyatukan urusan dalam ruang lingkup kebenaran dan memadukan dalam
kebaikan. Dalam beberapa ayat al Quran dijumpai perintah untuk berlaku adil,
salah satunya dalam QS. Al Maidah : 8.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا
يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ
أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا
تَعۡمَلُونَ ٨
8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan
4. Menegakkan
maslahat
Maslahat berasal dari
kata al shulh atau al islah yang berarti damai dan tentram. Damai berorientasi
pada fisik sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud
dengan maslahat secara terminologi adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan
dalam hukum Islam.[7]
Tujuan syariat Islam
adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam dua bidang, dunia
dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam. Tidak ada satu bidang
keyakinan atau aktifitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada
pembahasannya dalam syariat Islam yang dikaji dengan segala cara panjang yang
luas dan mendalam.[8]
Dasar-dasar ini akan
semakin terlihat dalam beberapa tempat di antaranya :
a.
Masalah keyakinan (tauhid), yaitu penetapan kewajiban dan beban (taklif)
b.
Menjelaskan hikmah dari diutusnya Rasulullah
c.
Isyarat tentang hikmah dari diciptakannya hidup dan mati
d.
Menjelaskan maslahat dari kewajiban beberapa ibadah
e.
Terkait pensyariatan qisash
Hubungan sesama manusia
merupakan manifestasi dari hubungan dengan pencipta. Jika baik hubungan dengan
manusia lain maka baik pula hubungan dengan penciptanya. Oleh karena itu hukum
Islam sangat menekankan kemanusiaan.
Ketentuan-ketentuan
dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai dengan kepentingan yang baik dari
pemeluk-pemeluknya. Maka tidak heran pada suat waktu diadakan aturan-aturan
hukum. Kemudian aturan tersebut dibatalkan apabila keadaan menghendaki dan
diganti dengan aturan lain. Pembatalan hukum tersebut bukan saja bersifat teori
tetapi juga benar terjadi dalam sejarah kehidupan hukum Islam.
Selain prinsip-prinsip
tersebut, dalam hukum Islam terdapat kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah
hukum Islam (al qawaid al fiqhiyah) adalah kaidah-kaidah umum yang
disusun oleh para ulama berdasarkan norma yang terdapat dalam nash (al Quran
dan hadits) melalui metode induktif. Kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan
pedoman dalam menentukan hukum berbagai peristiwa dan masalah yang berhubungan
dengan perbuatan manusia. Ada lima kaidah pokok dalam hukum Islam yang
disebut al qawaid al khams (panca kaidah), yaitu :
a.
Al umuuru bi
maqashida (segala urusan menurut niatnya)
b.
Adl dlararu
yuzalu (kemadlaratan atau kesulitan itu harus
dihilangkan)
c.
Al ‘adatu
muhakamah (adat kebiasaan bisa menjadi landasan
hukum)
d.
Al yaqiinu laa
yuzalu bi syak (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan)
e.
Al masyaqqatu
tajlibu at taisir (kesukaran, kesulitan mendatangkan kemudahan)
f.
Aplikasi lima
kaidah pokok tersebut, meliputi berbagai hukum, sebagai berikut : [9]
1. Kaidah
pertama berkaitan dengan niat untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan kaidah ini
para ulama menetapkan niat merupakan rukun dari suatu perbuatan. Tanpa niat perbuatan tidak sah.
2. Kaidah
kedua berkaitan dengan prinsip dalam Islam bahwa kemadlaratan atau kesulitan harus dihilangkan.
Karena itu ketika muncul
kesulitan, maka hal yang dilarang boleh dilakukan.
3. Kaidah
ketiga berkaitan dengan penggunaan adat kebiasaan (‘urf) manusia dalambermuamalah untuk memelihara kepentingan manusia dan menghilangkan kesulitan. Adat
kebiasaan yang bisa dijadikan dasar hukum adalah adat kebiasaan yang shahih,
tidak fasid. Yaitu yang berlaku umum, tidak bertentangan dengan nash, tidak
mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram.
4. Kaidah
keempat berkaitan dengan prinsip bahwa sesuatu yang sudah diyakini, tidak bisa
dihilangkan dengan keraguan. Hukum pokok ialah tetap yang telah ada atas apa yang
telah ada, hingga timbul keyakinan ada perubahan atasnya.
5. Kaidah
kelima berkaitan dengan prinsip dalam Islam bahwa Allah swt menghendaki
kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan. Oleh karena itu dikala muncul
kesulitan, maka muncul kemudahan untuk mengatasinya.
B. Karakteristik
Hukum Islam
Hukum Islam
memiliki watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan
berbagai macam hukum yang
lain. Karakteristik tersebut
ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal
dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal
ini beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, elastis dan dinamis,
universal, sistematis, berangsur-angsur dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
1. Sempurna
Berarti hukum itu akan
selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun,
baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam
diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja.
Sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu
berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al Quran tersebut
dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk melakukan
ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[10]
2. Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
Hukum Islam bersifat
dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan
tempat.[11] Hukum
Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia.
Hukum Islam tidak kaku dan tidak memaksa melainkan hanya memberikan kaidah dan
patokan dasar secara umum dan global. Sehingga diharapkan tumbuh dan berkembang
proses ijtihad yang mengindikasikan bahwa hukum Islam memang bersifat elastis
dan dinamis, dapat diterima di segala situasi dan kondisi.[12]
Ada 2 segi yang
dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi mengapa hukum Islam
memiliki karakter elastis (harakah), yakni :
a.
Menyangkut
masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum (mukallaf).
a.
Penetapan-penetapan
hukum bagi para subjek hukum selalu memperhitungkan kondisi-kondisi khusus
subjek hukum dalam menjalankan hukum mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum
bagi mukallaf (subjek hukum) diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau
keringanan (azimah dan rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti
itu mencakup 3 kategori yaitu :
b.
Kondisi dari
subjek hukum sendiri berupa kondisi uzur, seperti perintah shalat tepat waktu
(muassa) dapat dikerjakan secara gabungan (jamak takdim atau ta’khir), dan lain
sebagainya.
c.
Disebabkan oleh
orang lain seperti berlakunya hukum qishas bagi pembunuh dapat diganti dengan
hukum diyat bila keluarga korban memaafkan tindakan pidana tesrebut.
d.
Kondisi
situasional dimana keadaan sangat luar biasa seperti kelaparan membolehkan ia
memakan binatang yang diharamkan selama tidak melampaui batas dan aniaya.
b.
Segi hukum
dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan perubahan sosial. Ada 2
argumentasi yang dapat dikategorikan keelastisan hukum Islam dalam kondisi yang
dimaksud seperti ini, yakni :
a.
Berdiri
tegaknya hukum Islam melewati hasil-hasil produk ijtihadiyah demi menanggapi
perkembangan zaman dan perubahan sosial.
b.
Kondisi hukum
Islam sendiri pada umumnya merespons perkembangan zaman dan perubahan sosial
pada masa turunnya Al-Qur’an. Berlakunya hukum talak untuk memperbaiki hukum
perceraian pada masa itu.
3. Ijmali (Universalitas)
Ajaran Islam bersifat
universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang
Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping
bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok
untuk setiap zaman).[13]
Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam
sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang sedang
berkembang pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu
qiyas dan sebagainya kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang
telah ada dengan mengambil persamaan illatnya.
Ini berarti hukum Islam
itu dapat menjawab segala tantangan zaman. Sebenarnya hukum pada setiap
perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Qur’an dan hanya kita sebagai
manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad dalam mengambul
suatu putusan hukum tersebut.Hukum Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas
wilayah, suku, ras, bangsa dan bahasa. Keuniversalan ini tergambar dari sifat
hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-7, misalnya).
Tetapi untuk semua zaman hukum Islam menghimpun segala sudut dari segi yang
berbeda-beda di dalam satu kesatuan dan akan selalu cocok dengan masyarakat
yang menghendaki tradisi ataupun modern, seperti halnya hukum Islam dapat
melayani para ahl ‘aql, ahl naql dan ahl
ro’yi atau ahl hadits.[14]
Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam
memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut terdapat dalam Al-Qur’an yang
merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk
manusia.[15]
Firman Allah SWT ;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ
بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya :
Dan Kami (Allah) tidak mengutsu kamu (Muhammad)
melainkan kepada umat manusia seluruhnya untuk membawa berita gembira dan
berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba:
28).
Konstitusi Negara Muslim pertama, Madinah,
menyetujui dan melindungi kepercayaan non Muslim dan kebebasan mereka untuk
mendakwahkan. Konstitusi ini merupakan kesepakatn antara Muslim dengan Yahudi,
serta orang-orang Arab yang bergabung di dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari
keharusan membela negara dengan membayar jizyah, yang berarti hak hidup dan hak
milik mereka dijamin. Istilah zimmi berarti orang non Muslim dilindungi Allah
dan Rasul, kepada orang-orang non Muslim itu diberikan hak otonomi yudisial
tertentu. Warga negara dan ahli kitab dipersilahkan menyelenggarakan keadilan
sesuai dengan apa yang Allah wahyukan. Rasulullah SAW sendiri bersabda : “Aku
sendiri yang akan menyanya, pada hari kiamat, orang yang menyakiti orang zimmi
atau memebrinya tanggung jawab yang melebihi kemampuannya atau merampok yang
menjadi haknya.”[16]
Untuk memperlihatkan
keuniversalan hukum Islam minimal dari 3 segi:
a.
Menyangkut pemberlakuan hukum Islam bagi para subjek hukum yang berkesan
pada keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin antara manusia
biasa bahkan terhadap seorang Nabi.
b.
Kemanusiaan yang universal
c.
Efektifitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang
ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.[17]
4. Sistematis
Berarti antara satu
ajaran dengan ajaran yang lain saling bertautan, bertalian dan berhubungan satu
sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat al Quran yang
selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain
itu hukum Islam mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi tetapi juga
tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[18]
5. Berangsur-angsur
(tadrij)
Hukum Islam dibentuk
secara tadrij dan didasarkan pada al Quran yang diturunkan
secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan jalan kepada manusia
untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia selalu mengalami perubahan.
Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara
sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai bidang.
6. Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli
Hukum Islam dapat
dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk
mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya. Dan segala
konsekuensi berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abuddi murni yang artinya
makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar (ghoiru
ma’qula al ma’na) atau irrasional. Hal yang dapat dipahami dari sifat
ta’abud ini hanyalah kepatuhan pada perintah Allah swt, merendahkan diri kepada
Nya dan mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk
muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang
maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional. Maka
manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari
muamalah yang bersifat ta’aquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat
atau madlarat yang terkandung di dalamnya. Sesuatu yang dilarang karena ada
madlaratnya dan diperintahkan karena ada maslahat di dalamnya.[19]
Kemudian terdapat ciri-ciri
kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lain adalah : [20]
a.
Hukum Islam
berdasar atas wahyu Allah swt, yang terdapat dalam al Quran dan dijelaskan oleh
sunnah Rasul-Nya.
b.
Hukum Islam
dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).
c.
Hukum Islam
bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan seluruh umat
manusia (rahmatan lil ‘alamin).
d.
Hukum Islam
memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak).
e.
Hukum Islam mengarah
pada jama’iyah (kebersamaan) yang seimbang antara kepentingan individu dan
masyarakat.
f.
Hukum Islam
dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
g.
Hukum Islam
bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
7.
Tafshili (Partikularitas)
Hukum Islam itu
mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an
senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman:
“makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Dari ayat
diatas dipahami bahwa Islam tidak mengajarkan spiritual yang mandul. Dalam
hukum Islam manusia dieprintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang
sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.
Memahami
realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian yang tak
terpisahkan pada pemahaman universal pada hukum Islam. Bila pada keuniversalan
hukum Islam berlaku 3 segi, maka dalam karakteristik ini juga berlaku 3 segi
pemahaman, yaitu :
a.
Bila ditinjau
menyangkut pemberlakuan hukum terhadap para subjek hukum tanpa dibedakan status
seseorang, kaya atau miskin dan seterusnya untuk suatu karakter unversalitas
hukum, maka atas dasar keadilan pula hukum Islam memberlakukan hukum yang
khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi hukum atas subjek hukum.
Berdasarkan keuniversalan pemberlakuan hukum, seorang pezina siapapun ia dan
status bagaimanapun tetap mendapatkan sanksi hukum. Namun, pelaku zina yang
telah kawin sanksi hukumnya adalah rajam
sedangkan yang belum pernah kawin, maka sanksi hukumnya adalah didera 100 kali
dan diasingkan selama 1 tahun. Sedang bagi para budak yang melakukan zina, maka
sanksinya ½ dari orang yang merdeka. Dengan demikian, hukum Islam memberlakukan
secara universal kepada setiap orang, namun dalam pemberlakuannya terjadi
penjeratan hukum secara khusus dengan pemberlakuan partikularistik bagi pelaku
hukum.
b.
Bila hukum
Islam memiliki karakter sesuai dengan perhatian manusia sepanjang sejarah
manusia dalam mencipatakan hukum atau yang disebut dengan kemanusiaan yang
universal, maka hukum Islam juga memiliki hukum kemanusiaan partikular.
Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang bukan islam, berlakunya
hukum-hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan minum khamar dan lain
sebagainya. Hukum-hukum ini memiliki karakteristik yang partikular karena tidak
lazim dalam norma hukum yang berkembang dalam sejarah peradaban hukum manusia.
Oleh karenanya ia disebut dengan hukum kemanusiaan yang partikular.
c.
Bila ditinjau
dari berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku untuk setiap
manusia yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-hukum lainnya
tidak lagi melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya, tetapi terhadap
manusia yang telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam. Misalnya hukum
perkawinan Islam, maka daripadanya berlaku hukum talak 3 kali, khulu’ bagi
isteri terhadap suami, ila’, li’an, zihar, dan lain-lain diberlakukan bagi orang
yang telah tunduk menjalankan hukum Islam dimulai sejak akad perkawinannya
secara atau berdasarkan hukum Islam. Jadi orang yang status perkawinannya tidak
berdasarkan hukum Islam tidak berlaku pula hukum-hukum yang menyangkut
perkawinan dalam hukum Islam. Dalam kasus seperti demikian, hukum berkarakter
partikular karena hanya menunjuk pada manusia tertentu saja.[21]
8. Akhlak (Etistik)
Dimensi akhlak
dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada beberapa alasan sebagai
berikut :
a.
Hukum Islam
dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang dikembangkan melalui
kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.
b.
Segala
peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni pengaturan
tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-hukum
ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau dengan
makhluk lain (lingkungannya).
Lebih jauh
lagi, bentuk karakter akhlak pada hukum Islam dapat disarikan dalam beberapa
ilustrasi sebagai berikut :
a.
Hukum dalam
pembinaan mental spiritual manusia maka diberlakukan hukum-hukum ibadah agar
hubungan manusia dengan Tuhannya terbina dengan baik dan diharapkan memiliki
efek sosial yang baik bagi lingkungannya.
b.
Pembinaan
akhlak untuk memelihara keturunan maka diberlakukan hukum larangan zina.
c.
Pembinaan pada
etika pergaulan antara lelaki dan perempuan diberlakukan hukum berpenampilan
(tabarruj) antar mereka agar masing-masing mereka menundukkan pandangan.
d.
Pendidikan
akhlak agar memelihara harta maka diberlakukan larangan judi.
e.
Pendidikan
moral etika ekonomi maka diberlakukan hukum larangan melakukan riba atau
perbuatan mengambil harta dengan jalan batils eperti merampok, penipuan ataupun
penggelapan.
f.
Pembinaan
keluarga harmonis agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan dan kehidupan
yang lemah diberlakukan hukum hadhanah dan larangan mengabaikan pendidikannya
sehingga ditetapkan hukum perwalian maupun larangan segala bentuk pengabaian
kehidupannya sehingga menelantarkannya.
g.
Pembinaan etika
– moral kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga diberlakukan hukum
kewajiban untuk taat kepada pemimpin, membela negara dengan jihad bila
dieprlukan.
h.
Pembinaan etika
agar masyarakat takut melanggar hukum diberlakuakn sanksi-sanksi hukum pidana
berupa hukum hudud dan ta’zir.
i.
Pembinaan etika
untuk tidak menyakiti makhluk lain maka diberlakukan hukum menyangkut adab
penyembelihan terhadap binatangs eperti keharusan dengan alat yang tajam ketika
menyembelihnya ataupun larangan pembunuhan terhadap binantang tertentu.
j.
Pembinaan etika
dalam memelihara apa yang dikonsumsi tubuh manusia maka diberlakukan hukum
kewajiban untuk memakan barang yang halal dan tayyibah dan mengharamkan yang
buruk sehingga dirincikan binatang yang tidak baik dikonsumsi.[22]
9.
Tahsini (Estetik)
Pengertian yang
lazim untuk estetik adalah keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari
makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang
tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak
kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.
Dalam
hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum Islam. Secara
umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat 5 waktu,
puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan
yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran
seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di mesjid, puasa sunnat dan
sadaqah.
Karakter hukum
Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai lapangan hukum
Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca ajaran hukum
(Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat hukum.[23]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian diatas
dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai karakteristik hukum Islam itu antara
lain :
1. Sempurna berarti
hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia
dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa
syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar
permasalahannya saja.
1. Ijmali (Universalitas) dan dinamis, ia
meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang
‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Pemahaman keuniversalan hukum
Islam juga terletak pada segi efektifitasnya hukum yang diberlakukan, bahwa
kewajiban moral hukum yang dicanangkan adalah untuk segenap manusia.
2. Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan
sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
3. Ijmali (Universalitas) yakni ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal
batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan
kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga
bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).
4. Menegakkan
Maslahat atau al shulh atau al islah
yang berarti damai dan tentram. Damai berorientasi pada fisik sedangkan tentram
berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud dengan maslahat secara
terminologi adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam
5. Berangsur-angsur
(tadrij) maknanya hukum Islam dibentuk secara tadrij dan
didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran
ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup
manusia selalu mengalami perubahan.
6. Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli,
hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi
utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini
bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na)
atau rasional.
7. Tafshili (Partikularitas), yakni
hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin
yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan
yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan
perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu,
tetapi jangan berlebih-lebihan.”
8.
Akhlak (Etistik), akhlak dimasukkan sebagai karakter
hukum Islam didasarkan pada prinsip bahwa hukum yang dating dari Allah adalah
tentang aturan moral bagi sekalian manusia.
9. Tahsini (Estetik) yakni
keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan
didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam
pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat
atau puncak moral.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001.
2.
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum
Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1970
3.
Anwar Harjono, Hukum Islam Kekuasaan dan
Keagungannya, (Jakarta: Bulan Bintang, tt).
4.
Djamil, Fathurrahman, DR. MA, 1999, Filsafat
Hukum Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999.
5.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997.
6.
Harjono, Anwar, Dr, Hukum Islam Kekuasaan dan
Keagungannya, Jakarta: Bulan Bintang.
7.
Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang), 1975
8.
Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang), 1975
9.
Ismail Muhammad Syah, Tujuan dan Ciri Hukum
Islam, (Jakarta : Bumi Aksara), 1992.
10.
Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum
Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000, cet. 2.
11.
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, pen.
Joko Supomo, (Jogjakarta : Islamika), 2003.
12.
Muhammad Muslehuddin, Philoshopy of Islamic Law
and The Orientalis, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), cet. II.
13.
Muslehuddin, Muhammad, Dr, 1980, Philoshopy of
Islamic Law and The Orientalis, Lahore: Islamic Publication Ltd.
14.
Rasyad Hasan Halil, Tarikh Tasyri’ Sejarah
Legislasi Hukum Islam (Jakarta : Amzah), 2009.
15.
Salim, Tarikh Tasyri’ (Solo : CV. Rhamadani),
1988.
16.
Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat
Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima, 2007).
17.
Sarmadi, A. Sukris, MHi, 2007, Membangun
Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik,Yogyakarta : Pustaka Prima.
18.
Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya
Media Pratama), 2002, cet. 2.
19.
Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, (Damaskus:
Dar al Fikr, 1986, juz 2)
[3] Ibid., hal 230
[5] Jaih Mubarak, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000,
cet. 2, hal. 11.
[7] Jaih Mubarak, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya), 2000,
cet. 2, hal. 8.
[8] Rasyad Hasan
Halil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta :
Amzah), 2009, hal. 22.
[12] Abdul Wahab
Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 3.
[16] Muhammad Muslehuddin, Philoshopy of Islamic Law and The Orientalis,
(Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), cet. II, h. 277 – 278
[17] A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik,
(Yogyakarta : Pustaka Prima, 2007), h. 108 – 109.
[18] Joseph Schacht, Pengantar
Hukum Islam, pen. Joko Supomo, (Jogjakarta : Islamika), 2003, hal. 300.
[19] Abdul Wahab
Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 4.
TERIMA KASIH USTADZ.. SANGAT MEMBANTU
BalasHapus