Selasa, 03 November 2015

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT DAN TEKNOLOGI PADA MASA UMAYYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan peradaban Islam dari masa kemasa telah banyak mewarnai berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat di berbagai belahan dunia. Negeri-negeri yang berada disemenanjung Arab, benua Afrika, Eropa sampai ke Indonesia telah dipengaruhi oleh penyebaran budaya dan peradaban Islam. Perkembangan bidang pemikiran dan filsafat, bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, bidang pemerintahan dan politik telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan masyarakat di zaman modern. Pada masa silam kemajuan peradaban manusia terjadi pada masa kekuasaan Islam di hampir semua belahan dunia. Ketika Islam berada pada masa kejayaannya disaat yang sama Eropa sedang berada dalam masa kegelapan yang kita kenal dengan istilah the darkness age.
Peradaban Islam telah mengalami perubahan yang signifikan, hal ini dapat dilihat dari perkembangan kebudayaan, pemikiran dan peradaban, baik pada masa Rosulullah, Khulafaurrasyidin maupun pada masa Umayyah dan Abasiyah. Islam yang hadir di tengah kerasnya peradaban jahiliyah, melaui Muhammad saw. Akan tetapi untuk selanjutnya Islam mampu bermetamorfosa menyebar hampir ke seluruh penjuru jagad. Setelah masa Rasulullah saw, yang kemudian dilanjutkan oleh masa khulafaurrasyidin dan dinasti-dinasti Islam yang muncul sesudahnya. Dan telah berhasil membangun peradaban dan kekuatan politik yang menandingi dinasti besar lainnya pada masa itu, yakni Bizantium dan Persia[1].[1]
Baghdad dan Cordova merupakan salah satu bukti betapa tinggi dan majunya peradaban Islam. Pada masa kekuasaan Khalifah Bani Umayyah al Muntashir di Andaluisa, selain istana-istana yang megah, jalan-jalan sudah diperkeras dan diberi penerangan pada malam hari, kesulitan air diatasi dengan sistim irigasi[2], padahal pada saat itu di London hampir tidak ada satupun lentera yang menerangi jalan, dan di Paris di musim hujan lumpur bisa mencapai mata kaki. Dinasti Umayyah sukses menghidupkan tanah-tanah mati menjadi produktif yang menjadi andalan hidup msyarakat, membangun infrastruktur yang megah di berbagai daerah kekuasaan[3].
Dari sisi ilmu pengetahuan, tidak hanya dari kalangan muslim sendiri, orang-orang barat pun telah mengakui, bahwa sebagian besar dasar-dasar ilmu pengetahuan di lahirkan oleh para ilmuwan muslim. Begitu pula dengan masa kebangkitan Eropa yang tidak lepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, dimana para pelajar-pelajar dari Eropa telah dikirim ke Baghdad dan Cordova untuk menggali ilmu pengetahuan di sana. Di bidang-bidang ilmu keIslaman, perkembangan sastra dan bahasa Arab secara meluas terjadi pada masa Umayyah. Selain itu lahir pula ulama-ulama besar baik pada masa Umayyah I maupun Umayyah II (Sejarawan membagi Dinasti Umayah menjadi dua, yaitu ; pertama Dinasti Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus / Siria. Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah system pemerintahan dari system khalifah pada system mamlakat (kerajaan/monarki). Dan kedua, Dinasti Umayyah di Andalusia / Siberia yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayyah di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid Ibn Abd Al-Malik; kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayyah di Damaskus)[4].
Melihat pada pengaruh dari daulah dinasti Bani Umayyah terhadap perkembangan peradaban Islam dan dunia inilah yang mendasari penulis dalam menulis makalah ini. Sebab peradaban masa kini merupakan efek domino dari sejarah yang tidak putus. Dengan meneliti dan memahami sejarah peradaban Islam pada masa Bani Umayyah I di Bagdad dan Umayyah II di Andalusia kita akan dapat memetakan sejarah peradaban Islam secara lebih spesifik. Pemetaan yang merupakan rantai tak terpisahkan dari perkembangan peradaban modern.


B.     Rumusan masalah.
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana Perkembangan Agama dan Filsafat pada masa Umayyah?
2.      Bagaimana Perkembangan Sain dan Teknologi pada masa Umayyah?
3.      Bagaimana Sistem Pemerintahan yang Dibangun Oleh Umayyah?
























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Singkat Dinasti Umayyah
a.       Umayyah I
Kekhalifahan bani Umayyah, adalah kekhalifahan pertama setelah masa khulafaur rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin ‘Abd Asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan[5]. Beliau pada mulanya hanyalah gubernur Syam. Akan tetapi setelah terjadi pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan, maka situasi itu dimanfaatkannya untuk melawan kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Sehingga timbul perang Siffin[6].
Dinasti ini dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf, nenek moyang Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah yang cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad. Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya[7].
Umayyah ibn Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf. Keduanya masih keturunan Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan kedudukan dan kehormatan[8]. Pertarungan mereka berujung pada pertarungan ideologi agama, khususunya ketika Allah memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah berada di sebrang kekufuran dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara mayoritas keturunan Hasyim berada di sebrang keimanan dan menjadi pendukung utama Muhammad.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Bizantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti Muawiyah I, Abd al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa. Perkembangan yang dapat dilihat pada daerah Hijaz, Makkah dan Madinah serta Irak dan Basrah menjadi pusat aktifitah Intelektual dunia Islam[9]
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan Dinasti Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan Dinasti Umayyah jilid I selama lebih murang 90 tahun. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos dari pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II.
 Nama-nama Khalifah Bani Umayyah I:
1.      Muawiyyah bin Abi Sufyan (tahun 40-64 H/661-680 M)
2.      Yazid bin Muawiyah (tahun 61-64 H/680-683 M)
3.      Muawiyah bin Yazid (tahun 64-65 H/683-684 M)
4.      Marwan bin Hakam (tahun 65-66 H/684-685 M)
5.      Abdul Malik bin Marwan (tahun 66-86 H/685-705 M)
6.      Walid bin ‘Abdul Malik (tahun 86-97 H/705-715 M)
7.      Sulaiman bin ‘Abdul Malik (tahun 97-99 H/715-717 M)
8.      ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (tahun 99-102 H/717-720 M)
9.      Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 102-106 H/720-724M)
10.  Hisyam bin Abdul Malik (tahun 106-126 H/724-743 M)
11.  Walid bin Yazid (tahun 126 H/744 M)
12.  Yazid bin Walid (tahun 127 H/744 M)
13.  Ibrahim bin Walid (tahun 127 H/744 M)
14.  Marwan bin Muhammad (tahun 127-133 H/744-750 M)[10]                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     
b.      Umayyah II (Penaklukan Spanyol dan sejarah terbentuknya dinasti Umayyah Spanyol)
Spanyol/Andalusia di kuasai oleh umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid (705-715 M) salah seorang khalifah Daulah Umayah yang berpusat di Damaskus[11]. Bani Umayyah merebut Spanyol dari bangsa Gothia pada masa khalifah al Walid ibn ‘Abd al Malik (86-96/705-715). Penaklukan Spanyol diawali dengan pengiriman 500 orang tentara muslim dibawah pimpinan Tarif ibn Malik pada tahun 91/710. Pengiriman pasukan Tarif dilakukan atas undangan salah satu raja Gothia Barat, dimana salah satu putri ratu Julian yang sedang belajar di Toledo ibu kota Visigoth telah diperkosa oleh raja Roderick. Karena kemarahan dan kekecewaannya, umat Islam diminta untuk membantu melawan raja Roderick. Pasukan Tarifa mendarat di sebuah tempat yang kemudian diberi nama Tarifa. Ekspedisi ini berhasil, dan Tarifa kembali ke Afrika Utara dengan membawa banyak Ghanimah. Musa ibn Nushair, Gubernur Jenderal al Maghrib di Afrika Utara pada masa itu, kemudian mengirimkan 7000 orang tentara di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad. Ekspedisi II ini mendarat di bukit karang Giblartar (Jabal al Thariq) pada tahun 92/711. Sehubungan Tentara Gothia yang akan dihadapi berjumlah 100.000 orang, maka Musa Ibn Nushair menambah pasukan Thariq menjadi 12.000 orang[12].
Pertempuran pecah di dekat muara sungai Salado (Lagund Janda) pada bulan Ramadhan 92/19 Juli 711. Pertempuran ini mengawali kemenangan Thariq dalam pertempuran-pertempuran berikutnya, sampai akhirnya ibu kota Gothia Barat yang bernama Toledo dapat direbut pada bulan September tahun itu juga. Bulan Juni 712 Musa ibn Nushair berangkat ke Andalusia membawa 18.000 orang tentara dan menyerang kota-kota yang belum ditaklukan oleh Thariq sampai pada bulan Juni tahun berikutnya. Di kota kecil Talavera Thariq menyerahkan kepemimpinan kepada Musa, dan pada saat itu pula Musa mengumumkan bahwa Andalusia menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Penaklukan Islam di Andaluisa oleh Thariq hampir meliputi seluruh wilayah bagiannya, keberhasilannya tidak terlepas dari bantuan Musa ibn Al Nushair[13].
Ketika Daulah Bani Umayyah Damaskus runtuh pada tahun 132/750, Andalusia menjadi salah satu provinsi dari Daulah Bani Abbas. Salah satu pangeran Dinasti Umayyah yang bernama Abd al Rahman ibn Mu’awwuyah (Abdurrahman I), cucu khalifah Umawiyah kesepuluh Hisyam Ibn Abd al Malik berhasil melarikan diri dari kejaran-kejaran orang-orang Abbasiyah setelah runtuhnya pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus dan menginjakan kaki di Spanyol. Atas keberhasilannya meloloskan diri ia diberi gelar al Dâkhil (pendatang baru)[14].
Al Dâkhil memproklamirkan diri sebagai khalifah dengan gelar amĂ®r al mu’minĂ®n. Sejak saat itulah babak kedua kekuasan Dinasti Ummayah dimulai. Pemerintahan Bani Umayyah Spanyol (Bani Umayyah II) merupakan pemerintahan pertama yang memisahkan diri dari dunia pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah. Pendirinya adalah Abdurrahman ad Dakhil bin Mu’awiyah bin Hisyam bin Abd Malik al Umawi.
            Dengan demikian, maka dimulailah peradaban Islam baru di Spanyol yang dinamakan Dinasti Umayyah Spanyol (Umayyah II)
Diantara khalifah - khalifah Umayyah II yang terkemuka diantaranya:
1.      Abdurrahman ad Dakhil (755-788 M)
2.      Al Hakam bin Hisyam (796-821 M)
3.      Abdurrahman ibnul Hakam (821-852 M)
4.      Muhammad bin Abdurrahman (852-886 M)
5.      Abdullah bin Muhammad (889-912 M)
6.      Abdurrahman bin Muhammad (912-961 M)
Al Dâkhil berhasil meletakan sendi dasar yang kokoh bagi tegaknya Daulah bani Umayyah II di Spanyol. Pusat kekuasan Umayyah di Spanyol dipusatkan di Cordova sebagai ibu kotanya. Al Dâkhil berkuasa selama 32 tahun, dan selama masa kekuasaannya ia berhasil mengatasi berbagai masalah dan ancaman, baik pemberontakan dari dalam maupun serangan musuh dari luar. Ketangguhan al Dâkhil sangat disegani dan ditakuti, karenanya ia dijuliki sebagai Rajawali Quraisy. Pada masa didirikannya dinasti Umayyah II ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan baik dibidang politik maupun bidang peradaban. Abd al-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abd al-Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pemikiran filsafat juga mulai pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman al-Ausath. Bani Umayyah II mencapai puncak kejayaannya pada masa al Nashir dan kekuasaannya masih tetap dapat dipertahankan hingga masa kepemimpinan Hakam II al Muntashir (350-366/961-976).
Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesahidan (Martyrdom). Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi. Namun ada yang berpendapat pada masa ini dibagi menjadi dua yaitu masa KeAmiran (755-912) dan masa ke Khalifahan (912-1013)[15]. Jadi Gelar yang digunakan pada masa dinasti ini adalah AmĂ®r, dan ini tetap dipertahankan oleh penerusnya sampai awal pemerintahan amir kedelapan Abd al Rahman III (300-350/912-961). Proklamasi Khilafah Fathimiyyah di Ifriqiyah (297/909, serta merosotnya kekuatan Daulah Abasiyyah sepeninggal al Mutawakkil (232-247/847-861) mendorong Abd al rahman III untuk memproklamasikan diri sebagai khalifah dan bergelar amĂ®r al mu’minĂ®n. Ia juga menambahkan gelar al Nashir dibelakang namanya mengikuti tradisi dua khalifah lainnya[16]. Jadi penggunaan khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Muktadir, Khalifah daulah Bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilainnya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada masa ini ada tiga orang yaitu Abd al-Rahman al-Nasir (912-961 M), Hakam II (961-976 M), dan Hisyam II (976-1009 M).
            Pada periode ini umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad. Abd al-Rahman al-Nasir mendirikan universitas Cordova
Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
Kekuasaan Umayyah mulai menurun setelah al Muntashiru wafat. Ia digantikan oleh putera mahkota Hisyam II yang beru berusia 10 tahun. Hisyam II dinobatkan menjadi khalifah dengan gelar al Mu’ayyad. Muhammad ibn Abi Abi Amir al Qahthani yang merupakan hakim Agung pada masa al Muntashir berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan dan menempatkan khalifah dibawah pengaruhnya. ia memaklumkan dirinya sebagai al Malik al Manshur Billah (366-393/976-1003) dan ia terkenal dalam sejarah dengan sebutan Hajib al Manshur[17].
Demikian gambaran sepintas tentang dinasti Umayyah I di Bagdad dan Umayyah II di Spanyol.
B.     Perkembangan agama dan Filsafat pada masa Bani Umayyah.
Konsep dasar kebijakan pemerintah Umar bin Abdul Aziz dapat dilihat pada pidato pertama beliau sehari setelah dibaiat segabai khalifah “sesungguhnya aku menasehatkan kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah swt (dalam hidup dan kehidupan) serta meninggalkan segala hal yang menjauhkan dari ketakwaan kepada-Nya. Perbanyaklah mengingat kematian, karena ia pemutus segala kenikmatan (duniawi), maka persiapkanlah diri untuk menghadap kematian dengan sebaik-baiknya. Sesungguhnya (kesesatan dan kehancuran) ummat ini bukan pada perselisihan (dalam pemahaman dan peribadatan) terhadap Tuhan maupun kitab suci tapi lebih pada pertentangan dalam masalah dinar dan dirham (uang/urusan duniawi). Maka sesungguhnya aku tidak akan memberikannya dengan bathil kepada seseorang dan tidak akan menahannya dari seseorang (jika memang ia berhak mendapatkannya)[18].
Dalam berijtihad Umar bin Abdul Aziz menghormati ijtihad para ulama walaupun mungkin hasilnya bertentangan dengannya. Hal ini dilakukan untuk dapat merangkul semua golongan dan menyatukan umat. Beliau menjadikan musyawarah dengan ulama’ sebagai salah satu cara kontrol pemerintahannya agar selalu berjalan dalam garis-garis yang telah ditetapkan syariat. 
1.      Perkembangan Agama
Selama pemerintahan Dinasti ini, terdapat peluang untuk berkembangnya berbagai aliran yang trumbuh di kalangan masyarakat meskipun aliran itu tidak dikehendaki oleh penguasa waktu itu. Aliran-aliran tersebut diantaranya adalah Syiah, Khawarij, Mu’tazilah dan yang lainnya[19].
Mulainya ekspansi wilayah kekuasaan semasa Umayyah telah membuat Islam bersinggungan dengan dunia barat (Eropa)Penaklukan Spanyol dan upaya untuk menguasai Bizantium membuat umat Islam mau tidak mau bertemu dengan pemikiran filsafat Yunani yang sudah berkembang sebelumnya. Hal ini mengakibatkan sedikit banyaknya berpengaruh kepada perkembangan corak pemikiran  para ulama-ulama Islam saat itu.
Dalam menentukan kebijakan-kebijakan negara Umar selalu merujuk kepada sumber-sumber hukum berikut ini:
 a.    Al-Qur’an dan as-Sunnah
 b.    Peninggalan hukum (jurisprudensi) Abu Bakar dan Umar bin Khatab
 c.    Ijma’ ulama’[20].
 Ijma’ dilakukan dengan cara mengumpulkan keputusan-keputusan hukum para ulama sebelumnya dan bermusyawarah dengan para ulama’ yang masih hidup pada zamannya. Berikut adalah nama para ulama’ yang masih hidup pada zamannya; Anas bin Malik, Said bin Musayyab, Salim bin Abdullah bin Umar bin Khatab, Muhammad bin Syihab, Maimun bin Mahran, ‘Uwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Al-qasim bin Muhammad, Khorijah bin Zaid dan Abullah bin ‘Amir bin Rubai’ah[21].
Dalam berijtihad Umar bin Abdul Aziz menghormati ijtihad para ulama walaupun mungkin hasilnya bertentangan dengannya. Hal ini dilakukan untuk dapat merangkul semua golongan dan menyatukan umat. Beliau menjadikan musyawarah dengan ulama’ sebagai salah satu cara kontrol pemerintahannya agar selalu berjalan dalam garis-garis yang telah ditetapkan syariat.  Cara berijtihad kecuali Umar bin Abdul Aziz. Ini disebabkan para khalifah Bani Umawiyah lebih terfokus kepada urusan politik agar kekuasaan tidak berpindah ketangan yang lain. Tidak seperti pada masa Khulafa’urrasyidin. Pada masa ini urusan agama diserahkan pada Ulama dan penguasa hanya bertanggung jawab pada urusan politik saja. Pemikiran ulama besar, karena bukan produk legislatif tidak memiliki kekuatan yang mengikat. Hasil pemikiran tersebut cenderung bersifat sebagai fatwa dan mengikuti fatwa bagi masyarakat muslim sifatnya sukarela. Tetapi karena ulama itu biasanya orang yang dipercaya,maka fatwa tersebut disegani oleh banyak pengikut. Namun karena pemerintahan ini masih “berlabel” Islam maka pemikiran ulama yang sekiranya sejalan dengan kebijakan pemerintah diadopsi dan ulama tersebut akan diangkat sebagai mufti di istana, meskipun pada kenyataanyabanyak ulama-ulama besar yang menolak jabatan tersebut[22].
Kebijakan pemerintahan yang membedakan urusan agama dan negara ini berakibat padamunculnya pemikiran ulama-ulama yang lain. Terlebih lagi dengan semakin luasnya wilayahkekuasaan Islam pada masa ini, dengan kata lain semakin luasnya daerah dakwah bagi parasahabat dan tabi‟in yang berbekal informasi hadits yang berbeda-beda pula[23].
            Nilai fatwa mereka adalah sebagai pendapat individu yang kalau fatwanya benar, maka ia datangnya dariAllah. Sedang kalau salah, itu merupakan kesalahan sendiri. Oleh karena itu, tak seorang pun diantara mereka mengharuskan orang lain untuk mengikuti fatwanya. Argumentasi merekamengindikasikan atas adanya kebebasan mereka dalam menarik kemaslahatan dan mencegahkerusakan.Secara umum, ulama pada masa ini mengikuti langkah-langkah para sahabat dalampenetapan hukum. Kendati demikian ada beberapa perkembangan baru yang membedakanperkembangan fiqih pada periode ini dengan periode sebelumnya, khususnya ulama yangberada di Irak untuk memandang hukum sebagai timbangan rasionalitas. Mereka tidak sajabanyak menggunakan rasio dalam memahami hukum dan menyikapi peristiwa dan persoalanyang muncul, tetapi juga memprediksikan suatu peristiwa yang belum terjadi dan memberi hukumnya[24]
a.          Ahlul Hadits
Dalam masyarakat Islam pada masa itu terdapat kelompok ulama yangmetode pemahamannya terhadap ajaran wahyu sangat terikat oleh informasi dariRasulullah. Dengan kata lain, ajaran Islam hanya diperoleh dari Al Qur‟an dan petunjuk hadits Rasulullah saja. Maka dari itu mereka disebut sebagai ahlul hadits.Mulanya kelompok ini timbul di Hijaz, utamanya di Madinah karenapenduduk Hijaz lebih banyak mengetahui hadits dan tradisi Rasulullah dibandingpenduduk di luar Hijaz. Hijaz adalah daerah yang perkembangan budayanya dalampantauan Rasulullah hingga beliau wafat. Di Madinah sebagai ibukota Islam,beredar hadits Rasulullah yang lebih lengkap dibanding daerah lain di manapun.Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai masa permulaanpembukuan hadits. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi menggerakkan hatinya untuk memerintahkan ulama hadits khususnya.
Masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai masa permulaan pembukuan hadits. Kekhawatiran khalifah akan semakin tidak terurusnya hadits-hadits Nabi menggerakkan hatinya untuk memerintahkan ulama hadits khususnyai Hijaz agar membukukan hadits. Diantara ulama yang masuk kedalam kategori aliran ini adalah: Sa‟id bin Al Musayyab, Ahmad bin Hanbal
Umar bin Abdul Aziz, ketika ia diangkat sebagai khalifah, progam utama pemerintahannya terfokus pada usaha pengumpulan hadist untuk dibukukan  Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-zuhri seorang yang tepat dan siap melaksanakan perintah kholifah, maka ia bekerja sama dengan perowi-perowi yang dianggap ahli untuk dimintai informasi tentang hadist-hadist nabi yang berceceran ditengah masyarakat islam untuk dikumpulkan, ditulis dan dibukukan.
Abu Bakar Muhammad, dianggap pengumpul hadits yang pertama pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ini.Jejak Abu Bakar Muhammad, diikuti oleh generasi dibawahnya, seperti Imam Malik menulis kumpulan buku hadist terkenal Muwatha’, imam Syafii menulis Al-Musnad. Pada tahap selanjutnya, program pengumpulan hadist mendapat sambutan serius dari tokoh-tokoh islam, seperti:
1.      Imam Bukhari, terkenal dengan Shohih Bukhari
2.      Imam Muslim, terkenal dengan Shohih Muslim
3.      Abu Daud, terkenal dengan Sunan Abu Daud
4.      An –Nasa’i, terkenal dengan Sunan An-Nasa’i
5.      At-Tirmidzi, terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi
6.      Ibnu Majah, terkenal dengan Sunan Ibnu Majah
Kumpulan para ahli hadist tersebut diatas, terkenal dengan nama Kutubus Shittah.
b.      Ahlur Ra’y
            Istilah Ahlur ra‟y digunakan untuk menyebut kelompok pemikir hokum Islam yang memberi porsi akal lebih banyak dibanding pemikir lainnya. Bila Ahlul Hadits dalam menjawab persoalan tampak terikat oleh teks maka Ahlur ra’y sebaliknya meskipun tidak sepenuhnya menggunakan akal sebagai alat untuk mengambil kesimpulan hukum. Mereka juga menggunakan nash sebagai dasarpenetapan hokum hanya saja mereka dalam melihat nash lebih cenderung kepadasubstansi masalah daripada textual.Mereka berpendapat bahwa nash syar’I itu memiliki tujuan tertentu. Dan nash syar‟i secara kumulatif bertujuan untuk mendatangkan maslahat bagi manusia (Mashalihul Ibad). Karena banyaknya persoalan yang mereka hadapi dan terbatasnya jumlah nash yang ada maka para Ahlur Ra‟y berupaya untuk memikirkan rahasia yang terkandung di balik nash. Diantara ulama yang masuk kedalam kategori aliran ini adalah: AlQamahbin Qois (w. 62 H), Syuraih bin Al Harits (w. 78 H).
Untuk memahami Al-Qur’an para Ahli telah melahirkan sebuah disiplin ilmu baru yaitu ilmu tafsir, ilmu ini dikhususkan untuk mengetahui kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika Nabi masih hidup, penafsiran ayat-ayat tertentu dituntun dana ditunjukkan melalui malaikat Jibril. Setelah Rasulullah wafat para sahabat Nabi seperti Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud. Ubay bin Ka’ab mulai menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an bersandar dari Rasulullah lewat pendengaran mereka ketika Rasulullah masih hidup.
Dalam perkembangan generasi berikutnya, pada masa Dinasti Umayyah Islam telah berkembang  luas. Apalagi pemahaman terhadap Bahasa Arab bagi umat non-Arab mengalami kesulitan. Makalahirlah tokoh-tokoh dibidang Tafsir, seperti Muqatil bin Sulaiman (w.150H), Muhammad bin Ishak, Muhammad bin Jarir At-Thabary (w. 310).
c.       Dibidang Ilmu Fiqih
Al –Qur’an sebagai kitab suci yang sempurna, merupakan sumber utama bagi umat islam, terkhusus dalam menentukan masalah-masalah hukum. Pada masa Khulafaurrasyidin, penetapan hukum disamping bersumber dari Rasulullah dilakukan sebuah metode penetapan hukum, yaitu ijtihad. Ijtihad pada awalnya hanya pengertian yang 
            Sederhana, yaitu pertimbangan yang berdasarkan kebijaksanaan yang dilakukan dengan adil dalam memutuskan sesuatu msalah. Pada tahap perkembangan pemikiran  islam, lahir sebuah ilmu hukum yang disebut Fiqih, yang berarti pedoman hukum dalam memahami masalah berdasarkan suatu perintah untuk melakukan suatu perbuatan, perintah tidak melakukan suatu perbuatan dan memilih antara melakukan atau tidak melakukannya. Pada masa ini bermunculan para tokoh ahli fiqih, antara lain :
1.      Sa’id bin Al-Musayyid (Madinah)
2.      Salim bin Abdullah bin Umar (Madinah)
3.      Rabi’ah bin Abdurahman (Madinah)
4.      Az –Zuhri (Madinah)
5.      Ibrahim bin Nakha’ai (Kufah)
6.      Al –Hasan Basri (Basrah)
7.      Thawwus bin Khaissan (Yaman)
8.      Atha’ bin Ra’bah (Mekah)
9.      Asy –Syu’aibi (Kufah)
10.   Makhul (Syam)
Pada zaman dinasti Umayyah ini telah berhasil meletakkan dasar-dasar hukum islam menurut pertimbnagan kebijaksanaan dalam menetapkan keputusan yang berdasar Al-Qur’an dan pemahaman nalar/akal.
Dalam bidang fikih, Spanyol dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Yang memperkenalkan mazhab ini disana adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman. Perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pad masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya yaitu Abu Bakr ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal[25]
d.      Bidang Ilmu Taswuf
Taswuf merupakan sebuah ilmu tentang cara mendekatkan diri kepada Allah saw, tujuannya agar hidup semakin mendapatkan makna yang mendalam, serta mendapatkan ketentraman jiwa. Ilmu tasawuf berusaha agar hidup manusia memilki akhlak mulia, sempurna dan kamil. Munculnya tasawuf, karena setelah umat semakin jauh dari Nabi, terkadang hidupnya tak terkendali, utamanya dalam hal kecintaan terhadap materi. Tokoh –tokoh dalam hal tasawuf antara lain sebagai berikut :
d.1. Hasan Al-Basri
Hasan al-Basri mengenalkan kepada umat tentang pentingnya tasawuf, karena tasawufdapat melatih jiwa/hati memiliki sifat zuhud(hatinya tidak terpengaruh dengan harta benda, walau lahiriyah kaya), sifat roja’(harta benda, anak-anak, jabatan tidak bisa menolong hidupnya tanpa adanya harapan ridho dari Allah swt) dan sifat khouf(sifat takut kepada Allah swt yang dalam dan melekat dalam jiwanya).
d.2. Sufyan Ats-Tsauri
Beliau lahir dikufah tahun 97 H, mempunyai nama lengkap: Abu Abdullah Sufyan bin SA’id Ats-Tsauri. Pemikiran bidang taswuf merangkum sebagai berikut:
a.   Manusia dapat memiliki sifat zuhud, bila saat ajalnya menghampirinya, karena kelezatan dunia telah diambil Allah swt, maka manusia baru ingat makna kehidupannya.
b.   Manusia dalam menjalani hidup didunia harus bekerja keras agar hidupnya tercukupi, dengan kerja manusia dapat terhindar dari kegelapan dan kehinaan.
2.      Perkembangan Bidang Filsafat.
Kemajuan pemikiran Islam, tidak dapat dipisahkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sangat berperan aktif dalam kemajuan suatu peradaban. Ada tiga faktor  yang menyebabkan berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam pada masa kejayaannya, yaitu pertama, faktor agama (religius), kedua, apresiasi masyarakat terhadap ilmu. Dan ketiga, patronase (perlindungan dan dukungan) yang sangat dermawan dari para penguasa dan orang-orang kaya terhadap berbagai kegiatan ilmiah[26].
Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam berkembang cukup pesat dengan dimulainya aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab.  Dalam hal ini Dar al-Hikmah yang dibangun Harun al-Rasyid menjadi pusat kegiatannya, yang sekaligus sebagai pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam tradisi Islam. Tampilnya para filosof dan saintis muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Khawarizmi dan Ibn Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang mereka peroleh dari aktivitas penerjemahan dan membludaknya literatur-literatur Yunani[27].
Peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih kurang 600-800 tahun, dimana kaum Muslim dengan sungguh-sungguh mengemban amanah ilmu pengetahuan.  Ini artinya bahwa prestasi yang pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini sejak masa renaissance.  Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern (Barat) di bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim. Secara historis, dunia Islamlah yang pertama kali melakukan internationalization of knowledge di mana karya-karya ilmuwannya dibaca oleh ilmuwan lain dari berbagai negara. Sebelum munculnya peradaban Islam, peradaban di dunia ini masih bersifat lokalistik-nasionalistik. Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban Yunani, ilmu yang terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan lain-lain[28].
Kemajuan pemikiran yang demikian pesat dan mengagumkan ini seiring dengan kebebasan mengeksplorasi pemikiran yang secara spesifik banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani. Sampai akhirnya perannya bergeser dengan digantikan oleh tradisi sufistik yang dimotori oleh al-Ghazali yang sebenarnya juga berangkat dari pijakan pemikiran filsafat. Pada masa ini dunia Islam mengalami kemandekan pemikiran filsafat yang cukup panjang. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk menghidupkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam dunia Islam pasca kejayaan pemikiran Islam[29].
Disamping itu, sejalan dengan spirit modernisme yang sedang digemborkan di negeri-negeri Arab, aspek rasionalitas merupakan bagian penting dari modernitas. Usaha untuk mencari contoh dari tradisi sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat dijumpai dalam tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya interaksi harmonis baik secara langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat modern. Masyarakat Arab saat ini selalu menyamakan posisi mereka dengan zaman kejayaan mereka dulu, ketika mereka berinteraksi dengan peradaban dan pencapaian Yunani. Terlebih kini, ketika mereka sadar atau tidak--dikejutkan oleh banyaknya studi tentang filsafat Islam yang dilakukan oleh orang Barat. Hal ini, untuk selanjutnya menjadi cambuk pemicu bagi mereka untuk mengkaji sendiri tradisi dan warisan intelektual mereka, karena seharusnya merekalah yang lebih mengetahui tradisi sendiri[30].
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad bin Abdurrahman (832-886 M).
Atas inisiatif al-Hakam (961-976 M), karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin dinasti Bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa sesudahnya.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad bin al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibnu Bajjah. Dilahirkan di Saragosa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fezzan tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti al-Farabi dan Ibnu Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama kedua adalah Abu Bakr bin Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay bin Yaqzhan.
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab (Utara dan Selatan), al-Muwalladun (orang-orang Spanyol yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), al-Shaqalibah (penduduk daerah antara Konstantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmiah, sastra, dan pembangunan fisik di Spanyol. Perkembangan tersebut meliputi:
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan penguasa Bani Umayyah yang ke-5, Muhammad ibn Abd al-Rahman (832-886 M).
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Rusyd dari Cordova[31]. la lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama.
Pada abad ke 12 diterjemahkan buku Al-Qanun karya Ibnu Sina (Avicenne) mengenai kedokteran. Diahir abad ke-13 diterjemahkan pula buku Al-Hawi karya Razi yang lebih luas dan lebih tebal dari Al-Qanun[10]. Ibnu Rusyd memiliki sikap realisme, rasionalisme, positivisme ilmiah Aristotelian. Sikap skeptis terhadap mistisisme adalah basis di mana ia menyerang filsafat Al-Ghazali[32].


C. Sain dan Teknologi
Perkembangan sain dan teknologi pada masa Dinasti Umayyah cukup pesat. Terutama sekali pada masa Umayyah II di Damaskus. Salah satunya yang terkenal adalah Abbas ibn Farnas dalam ilmu kimia dan astronomi. Ialah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu[33]. Ibrahim ibn Yahya Al-Naqqash terkenal dalam ilmu astronomi. la dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. la juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm Al-Hasan bint Abi Ja’far dan saudara perempuan Al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita. Dan Fisika. Kitab Mizanul Hikmah (The Scale of Wisdom), ditulis oleh Abdul Rahman al-Khazini pada tahun 1121, adalah satu karya fundamental dalam ilmu fisika di Abad Pertengahan, mewujudkan “tabel berat jenis benda cair dan padat dan berbagai teori dan kenyataan yang berhubungan dengan fisika.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Bathuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudra Pasai dan Cina. Ibn Khaldun (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dart Tum adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol yang kemudian pindah ke Afrika.
D.    Musik dan Kesenian.
Seni musik Andalusia berkembang dengan datangnya Hasan ibn Nafi’ yang lebih dikenal dengan panggilan Ziryab. Ia adalah seorang maula dari Irak, murid Ishaq al Maushuli seorang musisi dan biduan kenamaan di istana Harun al Rasyid. Ziryab tiba di Cordova pada tahun pertama pemerintahan Abd al Rahman II al Autsath. Keahliannya dalam seni musik dan tarik suara berpengaruh hingga masa sekarang. Hasan ibn Nafi’ dianggap sebagai peketak pertama dasar dari musik Spanyol modern. Ialah yang memperkenalkan notasi do-re-mi-fa-so-la-si. Notasi tersebut berasal dari huruf Arab. Studi-studi musikal Islam, seperti telah diprakarsai oleh para teoritikus al-Kindi, Avicenna dan Farabi, telah diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan Latin sampai periode pencerahan Eropa. Banyak penulis-penulis dan musikolog Barat setelah tahun 1200, Gundi Salvus, Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adam de Fulda, dan George Reish dan Iain-lain, menunjuk kepada terjemahan Latin dari tulisan-tulisan musikal Farabi. Dua bukunya yang paling sering disebut adalah De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
E.     Bahasa dan Sastra.
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomor duakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj, Abu Ali Al-Isybili, Abu Al-Hasan Ibn Usfur, dan Abu Hayyan Al-Gharnathi.
Pada permulaan abad IX M bahasa Arab sudah menjadi bahasa resmi di Andalusia. Pada waktu itu seorang pendeta dari Sevilla menerjemahkan Taurat kedalam bahasa Arab, karena hanya bahasa Arab yang dapat dimengerti oleh murid-muridnya untuk memahami kitab suci agama mereka. Hal seperti itu terjadi pula di Cordova dan Toledo. Menurut al Siba’i pada saat itu tidak jarang dari penduduk setempat yang beragama Nashrani lebih fasih berbahasa Arab daripada (sebagian) bangsa Arab sendiri[34].
Berikut ini nama-nama ilmuwan beserta bidang keahlian yang berkembang di Andalusia masa dinasti Bani Umayyah :
·   Abu Ubaidah Muslim Ibn Ubaidah al Balansi Astrolog , Ahli Hitung Ahli gerakan bintang-bintang
·   Dikenal sebagai Shahih al Qiblat karena banyak sekali mengerjakan penetuan arah shalat.
·   Abu al Qasim Abbas ibn Farnas- Astronomi- Kimia Ilmi kimia, baik kimia murni maupun terapan adalah dasar bagi ilmu farmasi yang erat kaitannya dengan ilmu kedokteran.
·   Ahmad ibn Iyas al Qurthubi Kedokteran Hidup pada masa Khalifah Muhammad I ibn abd al rahman II Ausath
·   Al Harrani Yahya ibn Ishaq Hidup pada masa khalifah Badullah ibn Mundzir
·   Abu Daud Sulaiman ibn Hassan Hidup pada masa awal khalifah al Mu’ayyad
·   Abu al Qasim al Zahrawi Dokter Bedah, Perintis ilmu penyakit telinga. Pelopor ilmu penyakit kulit
·   Di Barat dikenal dengan Abulcasis. Karyanya berjudul al Tashrif li man ‘Ajaza ‘an al Ta’lif, dimana pada abad XII telah diterjemahkan oleh Gerard of Cremona dan dicetak ulang di Genoa (1497M), Basle (1541 M) dan di Oxford (1778 M) buku tersebut menjadi rujukan di universitas-universitas di Eropa.
·   Abu Marwan Abd al Malik ibn Habib Ahli sejarah, Penyair dan ahli nahwu sharaf salah satu bukunya berjudul al Tarikh
·   Yahya ibn Hakam Sejarah, Penyair
·   Muhammad ibn Musa al razi Sejarah wafat 273/886. Menetap di Andalusia pada tahun 250/863
·   Abu Bakar Muhammad ibn Umar Sejarah Dikenal dengan Ibn Quthiyah , Wafat 367/977 dan Bukunya berjudul Tarikh Iftitah al Andalus
·   Uraib ibn Saad Sejarah Wafat 369/979, Meringkas Tarikh al- thabari, menambahkan kepadanya tentang al Maghrib dan Andalusia, disamping memberi catatan indek terhadap buku tersebut.
·   Hayyan Ibn Khallaf ibn Hayyan Sejarah & sastra Wafat 469/1076, Karyanya : al Muqtabis fi Tarikh Rija al Andalus dan al Matin.
·   Abu al Walid Abdullah ibn Muhammad ibn al faradli. Sejarah Penulis biografi Lahir di Cordova tahun 351/962 dan wafat 403/1013. Salah satu karyanya berjudul Tarikh Ulama’i al Andalus
Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat pada masa Umayyah tidak terlepas dari kecintaan dan hasrat yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, tidak hanya dikalangan penduduk akan tetapi juga terlebih di kalangan penguasa. Pada masa al Muntashir terdapat tidak kurang dari 800 buah sekolah, 70 perpustakaan pribadi disampin perpustakaan umum[35].[15]
F.  Kemegahan bangunan fisik / Arsitektur.
Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian umat Islam sangat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga. Sistem irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tempat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk (kolam) dibuat untuk konservasi (penyimpanan air). Pengaturan hidrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air (water wheel) asal Persia yang dinamakan na’urah (Spanyol: Noria). Di samping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun, dan taman-taman[36]. Industri, di samping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi Spanyol Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar.
Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pembangunan gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiman, dan taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah mesjid Cordova, kota Al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, istana Al-Makmun, mesjid Seville, dan istana Al-Hamra di Granada, Masjid Batu ( Doom Of Rock ).
F.     Pengaruh Peradaban Islam Di Eropa
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian, dan peradaban antar negara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik[37].Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M[38]
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman Pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd[39].
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaissance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin[40].
G.    Membangun Pemerintahan yang Tangguh
Daulah Bani Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi dan sosial. hal ini didukung oleh pengalaman politik Muawiyah sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya. Muawiyah bin Abu sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai gubernur Syam pada masa khalifah Utsman bin Affan cukup mengantar dirinya mampu mengambil alih kekuasaan dari genggaman keluarga Ali bin Abi Thalib.
Perintisan Dinasti Umayyah dilakukan oleh Muawiyah dengan cara menolak membaiat Ali bin Abi Thalib, berperang melawan Ali, dan melakukan perdamaian (Tahkim) dengan pihak Ali yang secara politik sangat menguntungkan Muawiyah. Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah keberhasilan pihak Khawarij membunuh Khalifah Ali r.a. jabatan khalifah dipegang oleh putranya, Hasan Ibn Ali selama beberapa bulan. Akan tetapi, karena tidak didukung oleh pasukan yangkuat, sedangkan pihak Muawiyah semakin kuat, akhirnya Muawiyah melakukan perjanjian dengan Hasan Ibn Ali. Isi perjanjian itu adalah bahwa penggantian pemimpin akan diserahkan kepada umat Islam setelah masa Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 661 M (41 H). dan pada tahun tersebut dinamakan ‘amu Jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan umat Islam kembali menjadi satu kepemimpinan politik, yaitu Muawiyah. Pada masa itu, umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Muawiyah juga bermaksud meniru cara suksesi kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu monarki (kerajaan)[41].
Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih menjabat sebagai gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah keempat Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas kematian khalifah ketiga itu[42]. Bahkan ia menyatakan memisahkan diri dari pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya sebagai khalifah pada tahun 40 H/660 M di Iliya (Yerusalem)[43]. Pembaitan ini menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dan kelompok Muawiyah ini menjadi bughot pertama dalam sejarah Islam yang memisahakan diri dari pemerintahan islam yang sah. Mereka mendirikan negara di dalam Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan islam. Padahal pusat pemerintahan yang sah adalah kufah di bawah kepemimpinan Ali.
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali yang bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai[44] dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan[45].
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu[46].
Dalam diri Mu’awiyah seni berpolitik berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi tinimbang dibandingkan dengan khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa untuk mengunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan, sebagai gantinya, lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan[47].
Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah bentuk pemerintahan dari model Khulafa’ur Rasyidin yang menggunakan konsep Syura pada mekanisme pergantian kepemimpinan menjadi bentuk kerajaan dengan “pewarisan kekuasaan” pada puteranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang cukup paham strategi. Ia menerapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya, seperti mengurangi hak politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan puteranya untuk menggantikannya agar kedudukan politiknya kuat.
            Namun dalam perspektif lain, Muawiyah memiliki kontribusi besar dalam perubahan struktur sosial dan politik umat pada waktu itu. Muawiyah memisahkan Qadhi dan Ulama, sehingga posisi qadhi atau hakim menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi militer sehingga lebih professional dalam menjalankan tugas, kendati sering digunakan untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
            Muawiyah juga memiliki prestasi lain di bidang politik luar negeri. Penyebaran Islam ke luar yang telah dimulai sejak era Umar bin Khattab diteruskan oleh Muawiyah dengan mengirim pasukan ke Afrika Utara (wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar yang menguasai daerah tersebut dan sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai respons, gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima Uqbah untuk menghadapi kekuatan Barbar dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan di Maroko sampai ke sebelah selatan Tunisia.
            Suksesi kepemimpinan secara turun temurun di mulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia tehadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium[48].
Beliau berhasil mencipataan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja. Dan mendirikan departemen pencatatan adiminstrasi negara, termasuk pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan islam. Pendirian pelayanan pos untuk menghubungkan wilayah-wilayah kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan kuda dan keledai. Pembangunan departemen pemungutan pajak. Departemen ini mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat[49].
            Bani Umayyah menyusun tata pemerintahan yang baru untuk memenui tuntutan perkebangna wilayah dan administrasi kenegaraan yang semakin komplek. Salah satunya adalah dengan mengangkat penasehat sebagai pendamping khalifah dan beberapa orang al-kuttab (sekretaris) untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Al-kuttab ini meliputi:
 a. Katib al-rasail: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat menyurat dengan pembesar-pembesar setempat.
 b.  Katib al-kharraj: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran negara.
 c. Katib al-jundi: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan.
 d. Katib al-qudat: sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim setempat[50].
            Pada masa Abdul Malik bin Marwan jalanya pemerintah ditentukan oleh empat departemen pokok (diwan). Ke-empat departemen kementrian tersebut  adalah:
1.  Kementrian pajak tanah (diwan al-kharraj) yang tugasnya mengawasi departemen keuangan.
2.  Kementrian khatam (diwan al-khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan ordonansi pemerintah. Sebagaimana masa Muawiyah materai resmi untuk memorandum dari khalifah, maka setiap tiruan dari memorandum itu dibuat kemudian ditembus dengan benang, disegel dengan lilin yang ahirnya di press dengan segel kantor.
3.  Kementrian surat menyurat  (diwan al-rasail) dipercayakan untuk mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur.
4.  Kementrian urusan perpajakan (diwan al- mustahgallat).
            Bahasa administrasi yang berasal dari bahasa Yunani dan Persia diubah ke dalam bahasa Arab dimulai oleh Abdul Malik tahun 704.
Dari paparan diatas jelas kita lihat telah terjadi perubahan sistim pemerintahan yang pada masa khulafaurrasyidin berlangsung secara demokratis menjadi bersifat monarkhi. Keputusan Muawiyah yang menunjuk putranya sebagai pengganti beliau telah merubah sisitim tersebut. Meski pada waktu perkembangannya pemerintahan Umayyah periode I di Bagdad yang berlangsung  lebih kurang 90 tahun mengalami pasang surut dengan sistim tersebut cukup sukses mengantarkan dunia Islam menjadi dunia yang berkembang pesat menuju Negara-negara mesir dan eropa. Ekspansi wilayahnya berjalan terus semakin besar.














BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.      Terjadi dikotomi antara agama dan pemerintahan. Agama menjadi urusan Ulama dan pemerintahan menjadi urusan Amir.
2.      Perkembangan dibidang pemikiran keagamaan yaitu lahirnya ulama-ulama hadits, Ulama Ra’yi, para mutakallimin, para Fuqaha (imam mazhab).
3.      Kontaknya Islam dengan Eropa mengakibatkan lahirnya kajian-kajian filsafat dalam Islam.
4.      Pada masa Umayyah terdapat perkembangan ilmu dan teknologi seperti arsitektur, kesehatan, ilmu falaq dan lain sebagainya.
5.      System pemerintahan berubah dari demokrasi kepada monarkhi
6.      Dibentuknya kementerian dan sekretaris dalam membantu khalifah menjalankan roda pemerintahan.















DAFTAR PUSTAKA

1.      M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. 2 Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009.
2.      Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
3.      Al-Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar, 2004.
4.      Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, cet-10, 2008.
5.      Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri Publishing, 2011.
6.      Haidar Putra Daulay & nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007.
7.      Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1.
8.      Jalaludin Rahmat,  Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. Bandung: Muthahhari Press. 2002, Cet. Ke-1.
9.      Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, 2003: Kalam Mulia.
10.  Badri yabtim, Sejarah Peradaban Islam, PT: Gravindo Persada, 2003 .
11.  Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Lesfi, 2004.
12.  Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004.
13.  Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Penada Media, 2003.
14.  Mustafa as Siba’i, Kebnagkitan Kebudayaan Islam, terj. Nabhan Husein Jakarta : Media Dakwah, 1987.
15.  Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999.. 
16.  Qutb Ibrahim Muhammad, As-Siyasah Al-Maliyah li ‘Umar bin Abdul Aziz, Kairo: al-haiah al-Mishriyyah al-‘amah li al-kuttab, 1988.
17.  DR. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: 1997.
18.  Muhammad Hasan Al Hajwi, Al Fikru Assaamy fi Tarikh Fiqh Al Islamy, Beirut: 1995.
19.  DR. Jaih Mubarok, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, Badung: Rosda Karya, 2000.
20.  Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.
21.  Harun Nasution, , Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Rajawali, Jakarta 1989.
22.  Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia, Yogyakarta.
23.  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta 1999.
24.  Fazlur Rahman,  Islam, terj., Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung 1997.
25.  Mustafa As-Siba’i, Peradaban Islam Dulu, Kini dan Esok. Jakarta: Gema Insani Press, 1993.
26.  Ahmad Salabi, Mausu’ah al Tarikh wa al Hadlarah al Islamiyah,  Kairo: Al-Maktabah al Misriyah, 1982..
27.  Mustafa as Siba’i, Kebangkitan Kebudayaan Islam, terj. Nabhan Husein (Jakarta : Media Dakwah, 1987.
28.  S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern,  Jakarta: P3M, 1986.
29.  Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Jakarta: Bulan Bintan: 1975.
30.  K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986.









[1] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, cet. 2 Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009, hlm. 8
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 105
[3] Al-Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar, 2004, hlm. 183
[4] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, cet-10, 2008, hal. 103
[5] Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban Islam, Medan : Wal Ashri Publishing, 2011, hal : 123
[6] Haidar Putra Daulay & nurgaya Pasa, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : IAIN Press, 2007, hal : 39
[7] Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257
[8] Jalaludin Rahmat,  Al-Mustafa; Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw. Bandung: Muthahhari Press. 2002, Cet. Ke-1, hlm. 16.
[9] Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 159
[10]  Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, 2003: Kalam Mulia, hal. 1
[11] Badri yabtim, Sejarah Peradaban Islam, PT: Gravindo Persada, 2003 hal.87
[12] Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Lesfi, 2004, hal 80.
[13] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004, hal 70
[14] Philip K. Hitti, Op. Cit., hal. 647
[15] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Penada Media, 2003) Hal, 119
[16] Badri Yatim, Op. Cit., hal. 96
[17] Ibid, hal. 97
[18] Mustafa as Siba’i, Kebangkitan Kebudayaan Islam, terj. Nabhan Husein Jakarta : Media Dakwah, 1987, hal. 45
[19] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1999, hal. 83. 
[20] Ijma’adalah sumber hukum setelah tidak ditemukannya nash dari Al-qur’an dan Sunnah. Menurut Ibnu Taimiyyah ijma’ bisa dijadikan hujjah dan kewajibannya termasuk dalam fardu kifayah, sebagaimana firman-Nya dalam Al-qur’an surat Ali Imran:104. Maka Umar bin Abdul Aziz selalu bermusyawarah dengan para ulama’,sehingga ijma’ mereka dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i dan bermanfaat bagi rakyat agar dapat kembali berjalan di atas syariah Islam yang benar
[21] Qutb Ibrahim Muhammad, As-Siyasah Al-Maliyah li ‘Umar bin Abdul Aziz, Kairo: al-haiah al-Mishriyyah al-‘amah li al-kuttab, 1988, hal. 53-54
[22] DR. Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: 1997, hal. 61
[23] Muhammad Hasan Al Hajwi, Al Fikru Assaamy fi Tarikh Fiqh Al Islamy, Beirut: 1995, hal. 330
[24] Jaih Mubarok, Sejarah Perkembangan Hukum Islam, Badung: Rosda Karya, 2000, Hal 56.
[25] Badri Yatim, Op. Cit., hal 103
[26] Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam Jakarta: Baitul Ihsan, 2006, hal. 12.
[27] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,Rajawali, Jakarta 1989, hal. 51
[28] Dahlan Thaib dan Moh. Mahfud MD, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia, Yogyakarta, hal. 25
[29] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1999, hal. 74
[30] Fazlur Rahman,  Islam, terj., Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung 1997, hal. 28
[31] Badri yatim, Op. Cit., hal 101
[32] Mustafa As-Siba’i, Peradaban Islam Dulu, Kini dan Esok, Jakarta, Gema Insani Press, 1993, hal. 49.
[33] Ahmad Salabi, Mausu’ah al Tarikh wa al Hadlarah al Islamiyah, Kairo: Al-Maktabah al Misriyah, 1982, Juz 4, hal 70.
[34] Mustafa as Siba’i, Kebnagkitan Kebudayaan Islam, terj. Nabhan Husein,Jakarta : Media Dakwah, 1987, h. 112
[35] Siti Maryam, Op, Cit.,  hal. 96
[36] Badri Yatim, Op. Cit., hal 104
[37] Philip K. Hitti, Op. Cit., hlm. 526-530
[38] S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern,  Jakarta: P3M, 1986, hlm. 67
[39] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Jakarta: Bulan Bintan, 1975, hal. 148-149
[40] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1986, hal. 32
[41] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung, CV. Pustaka Setia, cet-10, 2008, hal. 103-104
[42] Ahmad al-Husairy, Sejarah Islam Sejak Jaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Diterjemahkan dari at-Tarikh al-Islam oleh Samson Rahman, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 2008, Cet. Ke-6, hal. 174.
[43] Ibid., hal. 235.
[44] Ibid., hal.  236.
[45] Ibid., hal.177
[46] Hitti, Op. Cit., hal. 245.
[47] Ibid.
[48] Badri Yatim, Op. Cit.,  hal. 42.
[49] E. Abdul Aziz Tibrizi, Sejarah Kebudayaan Islam, Diktat II Tangerang: Ponpes Daarul el-Qalam, hal. 7.
[50] Azizah, Mozaik Sejarah Islam (Islam Masa Dinasti Umayyah), Yogyakarta, Nusantara Press, 2011, hal. 99.

 TELISIK, SKHK dan PPKP Penyuluh Agama 2023  Juli 07, 2023 Standar Kualitas Hasil Kerja dan Pedoman Penilaian Kinerja Penyuluh Agama merupak...